Calon Wali Kota Lulusan SMA Jadi Diskursus versi Anak Muda

calon wali kota batam
Kantor Wali Kota Batam di Batam Center. Foto: istimewa

Batam (gokepri) – Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, diskursus mengenai latar belakang pendidikan calon pemimpin Batam mencuat. Perdebatan berkutat pada apakah titel sarjana menjadi syarat mutlak bagi Wali Kota Batam di masa depan, ataukah kemampuan memimpin dan pengalaman lebih diutamakan.

Di satu sisi, terdapat anggapan bahwa calon Wali Kota Batam wajib bergelar sarjana. Pandangan ini seolah menyingkirkan mereka yang kurang beruntung menempuh pendidikan tinggi untuk memimpin kota berpenduduk sekitar 1,3 juta jiwa ini selama lima tahun ke depan.

Baca Juga:

Namun, di sisi lain, banyak pula pihak yang tidak terlalu mempersoalkan gelar pendidikan. Asalkan memenuhi persyaratan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, seperti bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, minimal berpendidikan SMA/sederajat, sehat jasmani dan rohani, serta tidak pernah bermasalah dengan hukum atau melakukan perbuatan tercela, maka mereka dianggap layak untuk maju sebagai calon pemimpin.

“Kalaupun hanya tamatan SMA, kenapa tidak? Asalkan memiliki pengalaman memimpin daerah dan syaratnya cukup, tentu menjadi pertimbangan bagi pemilih. Yang terpenting, pemimpin itu harus beretika dan berbudi baik,” ujar Eko, pemuda tamatan SMA di Batam.

Eko menekankan setiap orang memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih, terlepas dari latar belakang pendidikan mereka. Ia mencontohkan kesuksesan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang meski hanya berijazah SMP, mampu menunjukkan kepemimpinan luar biasa dan diakui dunia internasional.

“Bahkan, Indonesia pun pernah dipimpin oleh seorang perempuan yang juga tamatan SMA,” tambahnya.

Senada dengan Eko, Tri, pemuda asal Nongsa, berpendapat bahwa pendidikan tinggi bukan tolok ukur utama untuk menjadi pemimpin yang baik. Ia bahkan menyoroti banyak kasus korupsi yang justru dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi.

“Pemimpin itu seharusnya tenang dalam menghadapi masalah. Tidak menghina atau merendahkan orang lain dalam berkata-kata. Ini yang mesti masyarakat perhatikan sebelum Pilwako nanti,” tegasnya.

Tri mengajak pemuda untuk lebih cermat dalam menyerap informasi yang beredar di media sosial, mengingat maraknya konten yang bersifat saling menjatuhkan. Ia berharap para tokoh politik dapat memberikan pendidikan politik yang baik dan menghindari ucapan-ucapan yang tidak pantas.

“Apakah hanya seorang tamatan SMA tidak boleh memimpin Batam? Saya pikir semua kita memiliki kesempatan yang sama,” katanya lagi.

Sementara itu, Jefri, perantau asal Sumatera Barat, berpandangan bahwa tingkat pendidikan calon pemimpin hanyalah salah satu pertimbangan bagi pemilih. Menurutnya, yang terpenting adalah kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi Batam yang positif.

“Sebetulnya, mau dia SMA atau Sarjana, yang paling penting kesejahteraan masyarakat dan ekonomi Batam tumbuh positif,” tuturnya.

Diskursus mengenai latar belakang pendidikan calon pemimpin Batam ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki pemikiran yang beragam. Di tengah hiruk pikuk politik, penting bagi pemilih untuk mengedepankan rasionalitas dan memilih pemimpin berdasarkan pertimbangan yang matang, tidak hanya terpaku pada gelar pendidikan semata.

Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang berintegritas, memiliki visi misi yang jelas dan terukur, serta mampu membawa Batam menuju masa depan yang lebih gemilang.

Cek Berita dan Artikel yang lain diĀ Google News

BAGIKAN