Pikiran manusia dalam menentukan batasan tentang makna dan definisi tentang pendidikan telah menunjukkan perubahan. Perubahan itu berdasarkan atas berbagai penelitian dan praktik di lapangan yang berkaitan dengan semakin berkembangnya komponen sistem pendidikan yang ada saat ini.
Berkembangnya pola pikir para ahli, praktisi pendidikan dan pengamat pendidikan telah menciptakan teori-teori baru. Teori Pendidikan itu sendiri merupakan teori yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Salah satu penerapan teori belajar yang terkenal adalah teori dari John Dewey yaitu teori “learning by doing”. Teori belajar ini merupakan sub ordinat dari teori pendidikan. Karenanya sebelum membahas teori belajar tersebut, perlu diuraikan pengertian teori pendidikan.
Sagala (2006:4), menyatakan bahwa teori pendidikan merupakan sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan dan prediktif tentang peristiwa-peristiwa pendidikan. Teori pendidikan ada yang berperan sebagai asumsi pikiran soal pendidikan dan ada yang beperan sebagai definisi menerangkan makna. Pendidikan bermula dari kondisi-kondisi aktual dari individu yang belajar dan lingkungan belajarnya di mana pendidikan secara normatif berarti pendidikan tertuju pada mencapai tujuan yang baik.
Urgensi pendidikan bagi kehidupan manusia yaitu membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya di mana manusia diberi akal dan pikiran, sehingga manusia dapat melakukan seleksi alam, memilih dan membedakan mana yang baik dan buruk, mengetahui segala hakikat permasalahan dalam dirinya maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi berbeda dengan masyarakat yang dialami negara berkembang yakni negara Indonesia.
Belum lagi dewasa ini kehadiran internet sebagai produk globalisasi informasi dan komunikasi telah mengundang pada sebuah perdebatan perkembangan dunia pendidikan yang sangat dilematis mengenai pengaruh hubungan-hubungan sosial. Di tengah perdebatan yang sengit, justru lahir produk terdahsyat komunikasi smartphone berbasis internet yang semakin mendekatkan manusia kepada kehidupan maya. Kehidupan yang serba pragmatis, instan, tanpa batas jarak (borderless), waktu, tempat bahkan nilai sekalipun. Kehidupan yang mengancam kepada tata aturan nilai hidup secara disruptif.
Era disrupsi atau disebut juga dengan era revolusi industri 4.0 yang ditandai perubahan fundamental dalam kehidupan yang lebih efisien dan bermanfaat di masyarakat sebagai implikasi dari kehadiran teknologi digital melalui penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi atau Information Communication and Technology (ICT) semakin hari semakin pesat dan mengancam. Hal ini terjadi pada negara-negara di dunia, baik negara-negara maju maupun negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Karena adanya kontak sosial dan komunikasi secara global telah menyebabkan terjadinya revolusi interaksi sosial.
Problem yang menjadi salah satu masalah sosial yang ada di era 4.0 adalah dengan kemajuan teknologi membuat berita sangat luas dan terbuka sehingga bisa menjadi problem baru yang muncul dalam lingkungan sosial saat ini. Dari paradigma lain kejadian tersebut menunjukkan bahwa lemahnya pendidikan karakter bagi anak untuk menjadi benteng dalam menghindari kasus perundangan yang terjadi antar sesama peserta didik.
Seyoyganya ini mesti menjadi atensi seluruh pengajar sekolah atau Lembaga Pendidikan, yang mana kejadian seperti itu memiliki dampak yang sangat bahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk memperbaiki program pendidikan karakter yang ada maka diperlukan rekonstruksi program agar pelaksanaan pendidikan karakter di Sekolah dapat optimal. Salah satunya dengan mengintegrasikan Pendidikan Agama Islam yang bermuatan Pendidikan Karakter.
Penelitian terdahulu yang dikemukakan oleh Faiz, Hakam, (et al., 2020) yang berjudul internalisasi nilai kesantunan berbahasa mengatakan bahwa melalui pendidikan Agama Islam mampu memberikan penguatan nilai/ karakter karena melalui Pendidikan Agama Islam dapat membangun kesepakatan nilai-nilai antara guru dan siswa. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu memberikan keyakinan pada pembaca bahwa dalam era disruptif ini peran guru PAI dalam menanamkan nilai/ karakter menjadi bagian yang sangat urgent dan tidak dapat dipisahkan apalagi teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet dapat mengancam sikap mental dan karakter anggota peserta didik, menjauhkan nilai dan hubungan silaturahmi yang hakiki dalam pertemuan tatap muka. Mengubah mental perjuangan menjadi instan tanpa proses usaha yang maksimal.
Semua fasilitas pertemuan dan pertemanan sudah tersedia di dunia maya, bahkan ilmu pengetahuan sudah tersedia lengkap di internet, tinggal “klik” searching google yang dicari semua ada. Bertemu tidak perlu susah payah, mau belajar segala ilmu yang dibutuhkan ada, bahkan ada stereotip yang mengatakan tidak butuh lagi guru untuk belajar, termasuk belajar di sekolah.
Guru sekolah di era teknologi hanya sekadar formalitas semata dan dianggap menjadi fasilitator, karena apa yang ditanya dan dibutuhkan dalam ilmu dan pembelajaran oleh peserta didik tutorial dan jawabannya semua terdapat di internet.
Kondisi hari ini telah memberikan ancaman yang cukup serius. Dampaknya saat ini guru menjadi kurang dihormati, guru tidak lagi menjadi sosok yang digugu dan ditiru, ilmu dan adab ditinggalkan. Begitu juga dengan guru hari ini banyak yang terjebak oleh perangkap teknologi yang menyebabkan mereka bersikap pragmatis tidak mempunyai konsep dan kesiapan yang matang dalam mengajar. Sehingga ruh keduanya (murid dan guru) dalam proses kegiatan belajar mengajar tidak sampai pada mentransfer nilai, melainkan hanya transfer informasi ilmu saja.
Sebuah era yang mempunyai potensi menjauhkan nilai-nilai pendidikan untuk mendidik manusia yang beradab. Dalam keadaan seperti ini, pendidikan karakter islami menjadi sangat urgent perannya dalam kehidupan masyarakat. Karena pendidikan karekter islami sesungguhnya mempunyai peran yang sangat strategis dalam menyiapkan generasi yang unggul dan bermoral di era yang penuh dengan tantangan dan keterbukaan.
Pendidikan karakter islami adalah pendidikan akhlak dengan penguatan nilai-nilai moral sebagai kekuatan untuk membebaskan masyarakat dari himpitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi sebagaimana dalam Firman Allah SWT QS. Al Maidah: 15-16 yang artinya : “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”. Muara akhir dalam tulisan ini pendidikan karakter islami diharapkan menjadi banteng dan pemfilter daripada perkembangan global di era disruptif yang semakin membuka dunia tanpa ada batasan. Amin Ya Robbal Alamin.
***