BATAM (gokepri) – Laporan terbaru Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan gambaran suram kebebasan pers global. Kekerasan terhadap jurnalis dan krisis ekonomi, memaksa media bergulat antara idealisme dan kelangsungan hidup di era dominasi platform digital.
Reporters Without Borders (RSF) dalam laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 yang dirilis Jumat (3/5) mengungkapkan pers global tidak hanya menghadapi kekerasan, tetapi juga tekanan ekonomi yang semakin berat. Organisasi yang berbasis di Paris ini menyatakan kebebasan pers dunia berada pada “titik terendah” dengan kondisi yang “kritis” dan tren penurunan terus berlanjut.
Dalam pernyataan di situs resminya, RSF menyoroti bahwa tekanan ekonomi menjadi faktor utama yang secara signifikan melemahkan media di berbagai negara. Indikator ekonomi dalam penyusunan peringkat indeks menunjukkan dilema yang dihadapi media massa, yaitu antara mempertahankan independensi pemberitaan dan memastikan kelangsungan hidup finansial.
“Ketika media berita terkendala secara finansial, mereka akan terjerumus dalam persaingan untuk menarik khalayak dengan mengorbankan pemberitaan yang berkualitas,” kata Direktur Editorial RSF, Anne Bocande. Ia menambahkan bahwa kemandirian finansial media adalah prasyarat penting untuk menjamin ketersediaan informasi yang bebas dan terpercaya bagi publik.
Data yang dikumpulkan RSF menunjukkan di 160 dari 180 negara yang dinilai, media mengalami kesulitan keuangan, bahkan ada yang tanpa anggaran sama sekali. Di sepertiga dari negara-negara tersebut, sejumlah media terpaksa gulung tikar akibat masalah ekonomi, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Tunisia, dan Argentina. Situasi di Palestina, khususnya di Jalur Gaza, jauh lebih buruk di mana serangan Israel telah menghancurkan gedung-gedung media dan menewaskan hampir 200 jurnalis.
RSF juga menuding raksasa teknologi global seperti Google, Apple, dan Meta (Facebook) telah merebut pendapatan iklan yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan media. Total belanja iklan di media sosial mencapai 247,3 miliar dolar AS pada 2024, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya. Selain itu, platform daring juga dinilai menghambat ruang informasi dengan menyebarkan konten menyesatkan yang memperkuat disinformasi. Konsentrasi kepemilikan media di tangan elite politik di beberapa negara, seperti India, Indonesia, dan Malaysia, juga mengancam kemajemukan media.
Dalam Indeks Kebebasan Pers 2025, Indonesia berada di peringkat 127, turun 16 tingkat dibandingkan tahun sebelumnya. Norwegia tetap menduduki peringkat pertama, sementara Eritrea berada di posisi terakhir. Peringkat Amerika Serikat juga turun dua tingkat ke posisi 57, Tunisia merosot 11 tingkat ke posisi 129, dan Argentina anjlok 21 tingkat ke posisi 87. Sementara itu, India (151) dan Malaysia (88) mencatatkan peningkatan dalam indeks kebebasan pers mereka.
Baca Juga: Indeks Kebebasan Pers di Kepri Terjun Bebas ke Peringkat 12
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News