BATAM (gokepri) – HNSI Kepulauan Riau menolak kebijakan ekspor pasir laut karena dikhawatirkan merusak lingkungan dan mengganggu mata pencaharian nelayan. Lima wilayah di Kepri berisiko terdampak pengerukan pasir ini.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Riau (Kepri), Distrawandi, mengkhawatirkan kebijakan pemerintah yang kembali membuka ekspor pasir hasil sedimentasi laut dapat merugikan nelayan pesisir, terutama di wilayah Kepri.
“Kami khawatir pengerukan sedimen laut berdampak negatif pada lingkungan, sehingga nelayan akan kesulitan mencari ikan di sekitar lokasi pengerukan,” ujarnya kepada ANTARA di Batam, Kepulauan Riau, Rabu 9 Oktober.
Distrawandi ragu bahwa yang dikeruk hanya lumpur atau pasir lempung, sebab kemungkinan besar pasir laut turut terdampak, yang akan mengganggu zona perikanan tangkap nelayan.
“Titik koordinat yang diberikan izin oleh pemerintah dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) serta pemangku kepentingan lainnya bersinggungan langsung dengan zona perikanan tangkap,” tambahnya.
Lima kabupaten/kota di Kepri yang menjadi lokasi pengerukan adalah Tanjung Balai Karimun, Bintan, Batam, Lingga, dan Laut Natuna Utara.
HNSI Kepri, hasil Munas Bogor, telah menyatakan penolakannya terhadap ekspor pasir laut atau sedimentasi laut hingga ada aturan yang jelas.
“HNSI sepakat menolak kebijakan ini sampai ada kejelasan tentang aturan main yang dibuat oleh pemerintah,” tegas Distrawandi.
Ia juga meminta pemerintah memastikan aktivitas pengerukan tidak merugikan nelayan dengan mengurangi zona penangkapan ikan.
“Kami belum melihat adanya kajian akademis atau edukasi kepada nelayan terkait manfaat pengerukan sedimen ini, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang,” jelasnya.
Baca: Siapa Penikmat Kebijakan Ekspor Pasir Laut
Diberitakan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menduga pasir sedimen di Natuna dan Natuna Utara akan diekspor ke Singapura untuk mendukung megaproyek pelabuhan Tuas. Berdasarkan pada besarnya volume hasil sedimentasi yang dinilai mencurigakan.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menilai wilayah Natuna dan Natuna Utara menjadi daerah yang paling diincar untuk pengerukan. Dari total potensi volume hasil sedimentasi di tujuh lokasi, 51% atau sebesar 9,09 miliar meter kubik berasal dari Natuna.
Hal ini menimbulkan keraguan apakah hasil sedimentasi di Natuna dan Natuna Utara memang sebesar itu dibandingkan dengan enam lokasi lainnya, sehingga negara mengeluarkan konsesi sampai 9,09 miliar meter kubik.
Susan menduga ini berkaitan dengan rencana Singapura untuk membangun proyek reklamasi pelabuhan Tuas, yang diharapkan menjadi pelabuhan terbesar di dunia.
“Kami berusaha berpikiran positif, tetapi sulit untuk tidak curiga, karena angka 9 miliar itu bukanlah angka yang bisa dianggap sepele,” ujar Susan dalam konferensi pers pada Jumat (20/9/2024).
Meski bisnis ini menjanjikan, Susan mempertanyakan dampaknya terhadap kedaulatan dan kesejahteraan nelayan. Ia menegaskan bahwa jangan sampai PNBP yang diterima tidak memberikan manfaat bagi para nelayan.
“Artinya PNBP itu jadi nonsense kalau kemudian kita bicara hanya sebatas pada angka. Karena pada terapannya, kedaulatan dan kesejahteraan nelayan sangat jauh,” ujarnya.
Baca: Berapa Besar Potensi PNBP dari Ekspor Pasir Laut?
Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16/2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pemerintah telah menetapkan tujuh lokasi yang dapat dikeruk pasir laut dengan alasan pengelolaan hasil sedimentasi.
Lokasi-lokasi tersebut meliputi Demak, Jawa Tengah, dengan potensi volume hasil sedimentasi sebanyak 1,72 miliar meter kubik; Surabaya, Jawa Timur, sebanyak 399 juta meter kubik; dan Cirebon, Jawa Barat, sebanyak 621 juta meter kubik.
Selain itu, Indramayu, Jawa Barat, memiliki potensi volume hasil sedimentasi sebesar 1,10 miliar meter kubik; Karawang, Jawa Barat, sebanyak 1,74 miliar meter kubik; Selat Makassar, Kalimantan Timur, sebanyak 2,97 miliar meter kubik; dan Natuna-Natuna Utara, Kepulauan Riau, sebanyak 9,09 miliar meter kubik.
Jika dijumlahkan, potensi volume hasil sedimentasi dari tujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan bahwa minat perusahaan terhadap pemanfaatan pasir sedimentasi laut, baik untuk domestik maupun ekspor, sangat tinggi.
“Banyak yang mengajukan,” kata Trenggono di Badung, Bali, Selasa (8/9). Izin pemanfaatan pasir sedimentasi laut ini diperketat untuk menjaga aspek ekologi selain tujuan ekonomis.
Baca: Megaproyek Pantai Selatan Singapura, Kawasan Urban Hijau dengan 10.000 Rumah
Sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantah telah membuka ekspor pasir laut dan menegaskan bahwa ekspor yang dibuka adalah sedimen laut yang mengganggu alur jalannya kapal.
“Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya, yang dibuka, adalah sedimen. Sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal,” kata Presiden Jokowi saat memberikan keterangan usai meresmikan Kawasan Indonesia Islamic Financial Center di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa 17 September.
Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi mengatakan bahwa sedimentasi air laut berbeda dengan pasir laut, meskipun wujud dari sedimentasi itu juga berbentuk pasir.
Ia pun kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak membuka ekspor pasir laut
“Sekali lagi, bukan (pasir laut), nanti kalau diterjemahkan pasir beda loh ya, sedimen itu beda, meskipun wujudnya juga pasir. Tapi (yang diekspor) sedimen. Coba dibaca di situ, sedimen,” kata Presiden.
Dalam kesempatan sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir hanya dapat dilakukan selama kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi.
Aturan ekspor hasil sedimentasi tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Baca: Keran Ekspor Pasir Laut Resmi Dibuka, Apa Syaratnya?
Dikatakan pengaturan ekspor hasil sedimentasi berupa pasir laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir dan laut, juga kesehatan laut.
Selain itu, pengaturan ekspor pasir laut dapat mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. ANTARA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News