Siapa Penikmat Kebijakan Ekspor Pasir Laut

Tambang Pasir laut di Kepri
Sebuah kapal tongkang pengangkut pasir laut di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Dok. TEMPO/ Fransiskus S.

JAKARTA (gokepri) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menduga pasir sedimen di Natuna dan Natuna Utara akan diekspor ke Singapura untuk mendukung megaproyek pelabuhan Tuas. Berdasarkan pada besarnya volume hasil sedimentasi yang dinilai mencurigakan.

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menilai wilayah Natuna dan Natuna Utara menjadi daerah yang paling diincar untuk pengerukan. Dari total potensi volume hasil sedimentasi di tujuh lokasi, 51% atau sebesar 9,09 miliar meter kubik berasal dari Natuna.

Hal ini menimbulkan keraguan apakah hasil sedimentasi di Natuna dan Natuna Utara memang sebesar itu dibandingkan dengan enam lokasi lainnya, sehingga negara mengeluarkan konsesi sampai 9,09 miliar meter kubik.

Susan menduga ini berkaitan dengan rencana Singapura untuk membangun proyek reklamasi pelabuhan Tuas, yang diharapkan menjadi pelabuhan terbesar di dunia.

“Kami berusaha berpikiran positif, tetapi sulit untuk tidak curiga, karena angka 9 miliar itu bukanlah angka yang bisa dianggap sepele,” ujar Susan dalam konferensi pers pada Jumat (20/9/2024).

Beberapa waktu lalu, pemerintah menerbitkan aturan mengenai pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, termasuk pasir laut yang dapat diekspor, asalkan kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16/2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pemerintah telah menetapkan tujuh lokasi yang dapat dikeruk pasir laut dengan alasan pengelolaan hasil sedimentasi.

Lokasi-lokasi tersebut meliputi Demak, Jawa Tengah, dengan potensi volume hasil sedimentasi sebanyak 1,72 miliar meter kubik; Surabaya, Jawa Timur, sebanyak 399 juta meter kubik; dan Cirebon, Jawa Barat, sebanyak 621 juta meter kubik.

Baca: 66 Perusahaan Incar Izin Pemanfaatan Pasir Laut

Selain itu, Indramayu, Jawa Barat, memiliki potensi volume hasil sedimentasi sebesar 1,10 miliar meter kubik; Karawang, Jawa Barat, sebanyak 1,74 miliar meter kubik; Selat Makassar, Kalimantan Timur, sebanyak 2,97 miliar meter kubik; dan Natuna-Natuna Utara, Kepulauan Riau, sebanyak 9,09 miliar meter kubik.

Jika dijumlahkan, potensi volume hasil sedimentasi dari tujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik.

Potensi PNBP

Kiara memperkirakan Indonesia berpotensi meraih penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp1.122 triliun dari ekspor pasir laut hasil sedimentasi.

Estimasi ini didasarkan pada total kebutuhan material yang diperkirakan mencapai 17,23 miliar meter kubik, dari total potensi volume hasil sedimentasi tujuh lokasi pengerukan sebesar 17,65 miliar meter kubik, dikurangi kebutuhan material reklamasi dalam negeri sebanyak 421 juta meter kubik.

Dengan menggunakan harga patokan luar negeri sebesar Rp186.000 per meter kubik, sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6/2024, dan PNBP sebesar 35%, total PNBP yang diterima diperkirakan mencapai Rp1.122 triliun.

“Artinya, ada Rp1.000 triliun PNBP yang akan diterima. Ini adalah asumsi,” kata Susan dalam konferensi pers pada Jumat (20/9/2024).

Sementara itu, PNBP yang diterima negara dari penggunaan pasir laut dalam negeri diperkirakan mencapai Rp11,7 triliun, dengan asumsi kebutuhan material reklamasi dalam negeri sebanyak 421 juta meter kubik dan harga patokan Rp93.000 per meter kubik, serta PNBP sebesar 30%.

Baca: 

Meski bisnis ini menjanjikan, Susan mempertanyakan dampaknya terhadap kedaulatan dan kesejahteraan nelayan. Ia menegaskan bahwa jangan sampai PNBP yang diterima tidak memberikan manfaat bagi para nelayan.

“Artinya PNBP itu jadi nonsense kalau kemudian kita bicara hanya sebatas pada angka. Karena pada terapannya, kedaulatan dan kesejahteraan nelayan sangat jauh,” ujarnya.

Cabut Kebijakan

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim, meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan yang mengatur pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, serta aturan turunannya, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 21/2024 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No. 33/2023.

“Kebijakan ini bukan solusi untuk mengelola dan mengatasi sedimentasi laut,” kata Karim dalam konferensi pers pada Jumat (20/9/2024).

Karim menjelaskan bahwa sedimentasi laut memiliki sifat alamiah, seperti yang terjadi akibat bencana alam, seperti letusan gunung berapi, yang mengalirkan laharnya ke laut melalui daerah aliran sungai (DAS). Selain itu, sedimentasi juga dapat disebabkan oleh eksploitasi manusia di hulu sungai dan pesisir, seperti penambangan.

Alih-alih mensejahterakan nelayan, kebijakan ini dinilai lebih menguntungkan oligarki dan korporasi yang akan mendapatkan izin usaha penambangan pasir laut. “Kebijakan ini tidak akan mungkin mensejahterakan nelayan,” tegasnya.

Baca: Ekspor Pasir Laut Bisa Tambah PNBP Rp1.122 Triliun, Apa Dampaknya bagi Nelayan?

Dia menekankan bahwa jika negara ingin mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat, pemerintah harus mencabut aturan-aturan tersebut. “Kita tidak perlu lagi mengeluarkan kebijakan yang hanya menimbulkan masalah baru, karena kita sudah cukup banyak masalah,” pungkasnya.

Pada Mei 2023, pemerintah menerbitkan PP No. 26/2023 yang mengizinkan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, berupa pasir laut, untuk reklamasi dalam pembangunan infrastruktur pemerintah dan prasarana oleh pelaku usaha. Selain itu, pemerintah juga mengizinkan ekspor hasil sedimentasi, asalkan kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. BISNIS INDONESI, ANTARA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Pos terkait