BATAM (gokepri) – Johor menolak sebagian pengajuan investasi pusat data demi mengurangi beban penggunaan air dan listrik. Mereka juga fokus menciptakan lapangan kerja dengan gaji yang menarik.
Dalam lima bulan terakhir, negara bagian Johor di Malaysia menolak hampir 30 persen pengajuan pembangunan pusat data. Langkah ini diambil untuk melestarikan sumber daya alam setempat dan memastikan sektor ini memberikan manfaat yang maksimal bagi perekonomian setempat.
Johor kini menjadi destinasi pusat data terbesar di Malaysia dan diproyeksikan memimpin di Asia Tenggara. Sejak Juni 2024, pemerintah Johor memperketat seleksi pengajuan melalui komite khusus. Langkah ini dilakukan setelah muncul kekhawatiran bahwa pembangunan pusat data senilai miliaran dolar dapat membebani pasokan air dan listrik di masa mendatang.
Wakil Ketua Komite Koordinasi Pengembangan Pusat Data Johor, Lee Ting Han, mengungkapkan empat dari 14 pengajuan yang diterima dari operator asing telah ditolak. “Sebagian besar ditolak karena operator tidak menunjukkan praktik berkelanjutan untuk mengurangi konsumsi air dan listrik,” ujar Lee.
Setiap pengajuan sekarang harus mencakup rencana lokasi, upaya keberlanjutan, serta rincian pekerjaan dan gaji yang ditawarkan. Lee menambahkan beberapa pengajuan ditolak karena lokasi yang dipilih tidak memiliki infrastruktur utilitas yang memadai, yang dapat membahayakan pasokan air bagi masyarakat setempat.
Baca: Pusat Data Indonesia Tumbuh Pesat, Kapasitas Diproyeksi Naik Dua Kali Lipat
Tumbuh Pesat
Kapasitas pusat data di Johor melonjak pesat, dari 10 megawatt (MW) pada awal 2021 menjadi 1,3 gigawatt (GW) saat ini. Kapasitas ini diperkirakan akan meningkat menjadi 2,7 GW pada 2027. Menurut firma riset Baxtel, saat ini terdapat 13 fasilitas pusat data di Johor yang mencakup lebih dari 1,65 juta kaki persegi.
Pusat data diukur berdasarkan konsumsi listrik dalam satuan watt. Biaya pembangunan pusat data di Malaysia diperkirakan sekitar US$10 juta per MW.
Beberapa kapasitas pusat data Johor berkembang pesat selama moratorium pusat data di Singapura. Singapura, yang merupakan hub pusat data Asia Pasifik, memberlakukan moratorium pada 2019 karena keterbatasan pasokan listrik dan lahan, dan baru mencabutnya pada 2022.
Sebelum Juni 2024, operator pusat data hanya membutuhkan persetujuan dari otoritas perencanaan lokal. Kini, mereka harus mendapatkan persetujuan dari komite koordinasi sebelum mengajukan izin pembangunan.
Baca: Laris Manis Lahan Pusat Data di KEK Nongsa
Gary Goh, pendiri firma konsultasi Sprint DC, menyebutkan meskipun pelaku industri mendukung fokus pada energi hijau, mereka berharap proses prapengajuan dapat membantu memperbaiki proposal sebelum diserahkan ke komite.
Pemerintah Johor kini menilai pengajuan berdasarkan tiga kriteria utama: komitmen terhadap keberlanjutan, penciptaan lapangan kerja dengan gaji yang layak, dan potensi klien untuk pusat data tersebut.
Johor menghadapi tantangan dalam merekrut tenaga kerja terampil akibat selisih nilai tukar dengan dolar Singapura. Wakil Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia, Liew Chin Tong, menyebut Johor perlu menawarkan dua pertiga dari gaji di Singapura agar talenta lokal mau kembali bekerja di negara bagian tersebut.
Komite dapat menahan persetujuan jika perusahaan tidak menawarkan gaji yang kompetitif. Fresh graduate di bidang teknik, misalnya, diharapkan menerima gaji awal sebesar RM4.000 per bulan, jauh di atas rata-rata industri yang sebesar RM2.800.
Baca: NeutraDC Nxera, Langkah Strategis Telkom Menangkap Pasar Pusat Data Singapura
Perdana Menteri Anwar Ibrahim, dalam pidato Anggaran 2025, mengingatkan agar pembangunan pusat data tidak terburu-buru tanpa memperhatikan penciptaan lapangan kerja berpenghasilan tinggi atau berbagi transfer skill dengan warga Malaysia.
Pemerintah federal tengah merampungkan pedoman pembangunan berkelanjutan untuk pusat data. Pedoman ini mencakup metrik seperti efektivitas penggunaan listrik, air, dan karbon, dan akan diumumkan pada kuartal keempat 2024.
“MITI mendorong penggunaan sumber energi terbarukan, peralatan hemat energi, dan pengelolaan air yang efektif untuk memastikan pusat data di Malaysia beroperasi secara efisien dan berkelanjutan,” demikian pernyataan resmi MITI. STRAITS TIMES
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News