JAKARTA (gokepri) – Operasi tangkap tangan KPK terhadap Penjabat Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, membuka kemungkinan korupsi besar di kalangan kepala daerah. Biaya politik yang mahal dan lemahnya pengawasan ditengarai menjadi penyebab banyaknya kepala daerah terlibat korupsi.
KPK menangkap tiga kepala daerah dalam tiga bulan terakhir. Yang teranyar adalah penjabat Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa. Dia menjadi tersangka sejak Selasa 3 Desember 2024. Ia sehari sebelumnya terjaring operasi tangkap tangan KPK di Pekanbaru.
KPK juga menetapkan Sekretaris Daerah Pekanbaru Indra Pomi Nasution dan Kepala Bagian umum Sekretaris Daerah Pekanbaru Novin Karmilla sebagai tersangka. Mereka menjadi tersangka dugaan penyunatan anggaran dan setoran dari sejumlah kepala dinas di Pekanbaru. KPK juga menyita uang Rp6,8 miliar dalam penangkapan itu.
Risnandar adalah kepala daerah kelima yang terjaring KPK pada 2024. Sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Bupati Sidoarjo Ahmad Mudlor Ali, Bupati Labuhanbatu Erik Atrada Ritonga, dan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sebagai tersangka. Hanya, status Sahbirin sebagai tersangka dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan praperadilan.
Baca: KPK Tangkap Pj Wali Kota Pekanbaru, Sita Uang Rp6,8 Miliar
Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, menilai operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Penjabat Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, membuka kotak pandora korupsi di kalangan penjabat kepala daerah.
“OTT ini menunjukkan bahwa seorang penjabat sementara, meskipun masa jabatannya singkat, ternyata mampu memainkan anggaran daerah hingga miliaran rupiah,” ujar Yudi di Jakarta, Rabu 4 Desember 2024.
Ia menduga kasus ini hanyalah fenomena gunung es. Masih ada kemungkinan banyak kasus serupa yang belum terungkap, serta oknum lain yang belum tersentuh hukum.
“Miris sekali. Penjabat seharusnya menjadi teladan karena memegang dua jabatan sekaligus, yakni di instansi asal dan sebagai kepala daerah sementara,” katanya.
Yudi mengingatkan para penjabat kepala daerah lainnya untuk menjalankan tugas dengan integritas. Ia juga meminta KPK terus menurunkan tim OTT jika menerima laporan masyarakat tentang dugaan korupsi.
Selain itu, ia mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kinerja penjabat kepala daerah yang terindikasi korupsi. “Kemendagri harus segera melakukan evaluasi, sementara DPRD perlu mengawasi perubahan anggaran yang berpotensi korupsi,” tegas Yudi.
Baca: Korupsi SPPD Fiktif, Eks Pj Wali Kota Pekanbaru Beli Apartemen di Batam Seharga Rp557 Juta
Mantan penyidik KPK lainnya, M Praswad Nugraha, juga menilai banyaknya kepala daerah terjerat korupsi merupakan fenomena gunung es. Menurut dia, mereka terlibat korupsi karena pengawasan yang lemah. Kepala daerah praktis tak memiliki pengawasan yang kuat karena kekuasaannya terlalu besar. Bahkan kepala daerah membawahi inspektorat daerah.
Praswad mengatakan seharusnya inspektorat berada di luar kekuasaan kepala daerah, minimal langsung di bawah menteri. “Inspektorat daerah kan pendeteksi pertama adanya potensi korupsi dan dia ada di kabupaten/kota atau provinsi. Tapi inspektorat tidak berfungsi karena di bawah kekuasaan kepala daerah,” ujarnya dikutip dari Koran Tempo.
Ia juga menilai kepala daerah meminta upeti dari bawahannya karena beban politik yang besar. Tak hanya untuk memenangi pemilihan, menurut dia, seorang kepala daerah juga harus mengeluarkan ongkos untuk menjaga relasi ke berbagai pihak demi mengamankan posisinya ataupun menjaga jejaring untuk kepentingan personal ke depan.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, sepakat bahwa biaya politik yang besar menjadi faktor banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi. Namun dia menilai hal ini tak lepas dari kesalahan partai politik yang tidak serius melakukan kaderisasi. Banyaknya kandidat kepala daerah yang muncul secara instan membuat biaya politik membengkak karena mereka tak memiliki modal politik popularitas ataupun elektabilitas yang memadai. “Uang itu digunakan untuk membiayai pemilu, survei, serta memberi upeti ke partai politik saat ia menjabat,” ujar dia.
Baca: Jadi Tersangka, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah Diduga Peras Anak Buah untuk Biaya Pilkada
Sebelumnya, penyidik KPK menetapkan Penjabat Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran Pemerintah Kota Pekanbaru. “KPK telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu RM, IPN, dan NK,” ujar Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.
Selain Risnandar, dua tersangka lainnya adalah Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru, Indra Pomi Nasution, dan Plt Kepala Bagian Umum, Novin Karmila. Ketiganya terjaring OTT oleh penyidik KPK di Pekanbaru pada Senin (4/12) malam. Dalam kasus ini, penyidik menyita uang tunai senilai Rp6,8 miliar dari berbagai lokasi. ANTARA, KORAN TEMPO
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News