UPTD PPA Natuna Sambangi Keluarga Berisiko, Upaya Cegah Kekerasan

keluarga berisiko di natuna
Kepala UPTD PPA Natuna, Melda Irawati. Foto: ANTARA

NATUNA (gokepri.com) – Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Natuna menjalankan program psikoedukasi dengan mendatangi langsung rumah-rumah keluarga yang berisiko melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kepala UPTD PPA Natuna, Melda Irawati, menjelaskan bahwa program ini menyasar keluarga yang tinggal di pulau-pulau.

“Keluarga berisiko yang kami maksud meliputi perempuan yang menikah secara siri, perempuan yang ditelantarkan suami, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anak yang hanya tinggal dengan ayah, anak yang diasuh ayah tiri, serta anak yang dirawat oleh kerabat seperti paman, kakek, nenek, atau saudara kandung,” ujar Melda, Kamis (20/2/2025).

Baca Juga: Duta Genre Natuna 2025 Diharapkan Jadi Promotor Cegah Stunting

Program ini bertujuan memberikan pemahaman kepada kepala keluarga, perempuan, dan anak tentang cara mengenali, mengatasi, serta menyelesaikan berbagai permasalahan pribadi, emosional, sosial, dan akademik.

Upaya ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan, mengingat sebagian besar pelaku kekerasan berasal dari lingkungan terdekat. Selain sebagai langkah pencegahan, program ini juga berfungsi untuk mengungkap kasus kekerasan yang belum dilaporkan.

Berdasarkan pengalaman UPTD PPA, banyak korban yang mengalami kekerasan dalam waktu lama sebelum kasusnya terungkap. Data keluarga berisiko diperoleh dari pemerintah desa dan kelurahan setempat.

“Jika kami menemukan adanya kasus kekerasan saat pelaksanaan program, kami segera mengambil tindakan dan mencari solusi penyelesaiannya,” tegas Melda.

Psikolog UPTD PPA Natuna, Sumarni, menambahkan bahwa program ini mulai dijalankan pada 2024 dan akan berlanjut hingga 2025. Ia menilai pendekatan ini efektif karena langsung menyasar kelompok yang rentan.

Materi edukasi yang diberikan mencakup jenis dan dampak kekerasan seksual, penyalahgunaan narkotika, pernikahan usia anak, pernikahan siri, perundungan (bullying), seks bebas, dan pendidikan seksual.

“Kami ingin keluarga berisiko memahami bahwa pelaku kekerasan bukan selalu orang asing. Dengan psikoedukasi ini, kami berharap bisa mencegah kasus kekerasan sebelum terjadi,” ujarnya. ANTARA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Pos terkait