Jakarta (gokepri) – Penurunan tarif listrik dari energi terbarukan akan terus berlanjut seiring dengan implementasi skema lelang dan adanya persaingan yang sehat di sektor energi.
PT PLN (Persero) yakin tarif listrik dari sumber energi terbarukan akan semakin terjangkau seiring dengan penurunan harga dalam perjanjian pembelian tenaga listrik yang dilakukan dengan perusahaan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP).
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyebut biaya produksi pembangkit listrik dari energi terbarukan di Indonesia akan semakin kompetitif di masa depan. PLN telah menerapkan skema lelang untuk mencari pasokan listrik hijau dari IPP.
Darmawan menjelaskan pada 2015, PLN harus membayar USD0,25 per kilowatt jam (kWh) untuk listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga surya (PLTS). Namun, nominal tersebut terus menurun menjadi USD0,12 per kWh, lalu USD0,057 per kWh pada 2019. Harga tersebut kembali turun menjadi USD0,04 per kWh berdasarkan hasil kesepakatan lelang terakhir.
Selain itu, kondisi serupa juga terjadi pada harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). PLN sebelumnya membayar USD0,12 per kWh kepada IPP, namun angka tersebut turun menjadi USD0,11 dan saat ini berada di USD0,055 per kWh.
“Jadi itu bukan tarif yang ditentukan oleh pemerintah, tapi hasil dari suatu lelang,” kata Darmawan di Hotel Dharmawangsa Jakarta pada Rabu (5/7).
Ia juga menambahkan pelaksanaan lelang berimplikasi pada penciptaan iklim bisnis yang kompetitif dalam sektor energi terbarukan. Persaingan yang sehat mendorong inovasi dan dapat menurunkan biaya produksi serta harga jual listrik.
“Dulu, jika ingin harga murah, maka energinya kotor, sedangkan energi bersih memiliki harga yang mahal. Namun, ke depannya, harga energi bersih akan menjadi lebih terjangkau,” ujar Darmawan optimis.
Dalam upaya meningkatkan pasokan listrik hijau, PLN memiliki target untuk mengoperasikan empat proyek pembangkit listrik hijau pada tahun 2023. Dua di antaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan di Aceh.
Selain itu, tambahan produksi listrik hijau juga akan berasal dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Dieng di Wonosobo dan PLTP Sokoria di Nusa Tenggara Timur, dengan total kapasitas 13 megawatt (MW). Kedua PLTP tersebut dijadwalkan akan beroperasi secara komersial pada akhir tahun 2023.
Wiluyo Kusdwiharto, Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN, menyebutkan proyek PLTS sebagai ladang setrum terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas pembangkit mencapai 145 megawatt peak (MWp). Selain itu, proyek PLTA Peusangan akan terdiri dari tiga bagian, dengan PLTA Peusangan I berkapasitas 45 MW yang ditargetkan akan beroperasi pada akhir tahun ini, diikuti oleh PLTA Peusangan II berkapasitas 43 MW pada Juli 2024.
Lebih lanjut, PLTP Dieng dengan kapasitas 10 MW akan menjadi pengembangan dari proyek skala kecil yang merupakan kelanjutan dari PLTP Dieng eksisting dengan kapasitas 60 MW. Tambahan produksi listrik sebesar 10 MW di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Dieng ini berasal dari turbin pembangkit skala kecil yang dioperasikan oleh PT Geo Dipa Energi.
Di sisi lain, PLTP Sokoria diharapkan akan memberikan kontribusi listrik panas bumi dengan kapasitas 3 MW. Meski kapasitas produksi listrik PLTP Sokoria lebih kecil dari target awal sebesar 5 MW, upaya ini tetap menjadi langkah maju dalam memperluas penggunaan energi terbarukan.
Dengan penambahan empat proyek pembangkit listrik hijau tersebut, PLN berharap dapat menyumbang tambahan listrik bersih sebesar 203 megawatt (MW). Upaya ini sejalan dengan komitmen PLN untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil.
Baca Juga: Butuh Rp10,5 Triliun Bangun PLTS, PLN Manfaatkan Pendanaan JETP
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News