
Puluhan biksu yang biasanya bertapa kali ini melakukan Thudong atau perjalanan panjang. Mereka memulai perjalanan dari Nakhon Si Thammart Thailand kemudian ke Malaysia, Singapura lalu berakhir di Indonesia dan kembali ke Thailand. Mereka sempat mampir ke Batam, simak seperti apa kisahnya!
Penulis: Engesti
Batam
Aktivitas hiruk pikuk orang di Pelabuhan Internasional Harbourbay Batam, Kepulauan Riau seketika terhenti ketika puluhan orang keluar dari pintu kedatangan pelabuhan. Puluhan orang itu seluruhnya mengenakan kain berwarna oranye.
Sebagian orang meninggalkan aktivitasnya dan malah mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel masing-masing.
Mereka adalah para bhante atau biksu dari berbagai negara yang tiba di Batam setelah melakukan perjalanan panjang atau thudong dari Nakhon Si Thammart Thailand.
Sebagian orang mungkin belum pernah melihat biksu secara langsung, sehingga kedatangan Biksu yang cukup singkat itu disambut antusias.

Perjalanan biksu ini dimulai dengan perjalanan darat dari Thailand menuju ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Setelah itu, dilanjutkan perjalanannya dengan menggunakan kapal untuk menyeberangi Selat Malaka hingga mencapai Indonesia.
Di Indonesia, perjalanan berlanjut dengan menggunakan berbagai transportasi seperti bus dan kereta api hingga akhirnya tiba di Borobudur.
Penanggung jawab para Bhante, Panglima Tinggi Laskar Agung Macan Ali Kesultanan Cirebon, Prabudiaz menyebut, setidaknya ada 32 bhante yang masih bertahan melaksanakan Thudong dari sebelumnya berjumlah 54.
“Jumlah dari 54 sekarang tinggal 32 orang. Ada yang sakit terus ada keperluan lain,” kata dia saat ditemui di Pelabuhan Harbourbay, Senin 8 Mei 2023.
Uniknya, kata dia, kedatangan puluhan biksu ini merupakan yang pertama di Batam dan rute perjalanan pertama dari Thailand ke Indonesia.
Batam sebagai tempat persinggahan sebelum akhirnya melanjutkan kembali perjalanan hingga finish di Candi Borobudur nanti tepat pada perayaan Waisak, Jumat 2 Juni 2023 mendatang.
Di Batam, agenda para bhante ialah ramah tamah sebelum berangkat ke Jakarta.
“Batam adalah kota pertama di Indonesia. Para bhante ini akan berjalan kaki sampai ke Borobudur. Tanggal 2 Juni sudah sampai ke Borobudur dan tanggal 4 Juni ikut Waisak,” kata dia.
Setelah dari candi Borobudur, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan kembali ke Thailand.
Berjalan Untuk Menebarkan Semangat Toleransi
Wawan adalah suatu-satunya biksu asal Indonesia yang mengikuti ritual keagamaan thudong dari Thailand hingga ke Indonesia. Sisanya berwarga negara Thailand dan Malaysia dan Singapura.
Menurutnya, perencanaan thudong ini sudah beberapa tahun yang lalu. Namun sempat tertunda akibat Covid-19. Rutenya pun waktu tidak tidak sampai ke Indonesia. Para bhiksu hanya melakukan thudong sampai gate penyebarangan masuk Laos.
Sampai pada akhirnya ada kesepakatan antara para biksu dari berbagai negara bahwa rute thudong berlangsung sampai ke Indonesia. Momentumnya dibuat bersamaan dengan perayaan Waisak.
“Ini pertama kali ke Indonesia dari Thailand, Malaysia, Singapura dan terakhir Indonesia. Ini suatu rekor juga,” kata dia.

Selama perjalanannya itu, ia menjelaskan makna dari perjalanan panjang atau thudong yang mereka lakukan. Bukan hanya tradisi leluhur semata. Namun ada misi menyebarkan semangat toleransi antar umat beragama.
“Dalam perjalanan ini, terlihat betapa kuatnya niat dan tekad seseorang untuk mencapai tujuannya. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang harus dihadapi, namun dengan keberanian dan semangat yang kuat, seseorang dapat mencapai tujuan apapun yang diinginkannya,” kata dia.
Ia mengatakan, semangat toleransi antar umat beragama ini harus terus digemakan. Apalagi, Indonesia yang memiliki ragam suku dan agama berbeda.
“Kami juga diundang oleh Habib Lutfi untuk tinggal di pondok pesantren beliau. Jadi kami terbuka untuk menyebarkan semangat toleransi,” jelas dia.
Dalam dalam perjalanan, para biksu tidak melulu melalui jalan aspal yang mulus tapi juga melalui perkebunan dan jalanan tanah. Tak jarang sejumlah biksu mengalami cedera lecet di telapak kaki.
Kata dia, selama thudong berlangsung tak banyak hambatan yang ia dapati. Banyak masyarakat dari berbagai suku dan agama yang memberi bantuan bahkan menerima keberadaan mereka.
Di tempat singgah pun para biksu tetap mendapat pelayanan dari umat setempat. Hambatan yang ia dan rekan biksu lainya dapati hanya cuaca panas yang ekstrem.
“Banyak yang beranggapan kalau umat muslim tidak menyambut kami, itu salah, umat muslim selalu menyambut kami begitu juga dengan umat agama lainnya,” kata dia.
Tradisi thudong sendiri, lanjut dia, tidak bisa sembarang digelar, ada waktu tertentu agar para biksu bisa melaksanakan tradisi itu. Mereka tidak akan melakukan perjalanan jika masuk masa wasak atau musim hujan.
“Kalau itu kita harus berdiam diri di dalam satu vihara, kalau sudah keluar dari masa wasak kami para biksu akan jalan terus,” kata dia.
Ia berharap, melalui thudong semangat toleransi antar umat beragama semakin baik.
***
Baca Juga: Lima Wihara Terbesar di Indonesia yang Penuh Pesona
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News