BATAM (gokepri) – Mufasa: The Lion King bukan sekadar prekuel The Lion King yang legendaris. Film ini meramu trauma masa kecil, persahabatan, cemburu, pengkhianatan, ambisi, dan balas dendam dalam balutan visual yang memukau. Ia membawa penonton kembali ke alam liar Pride Lands, mengajarkan nilai-nilai tentang tujuan hidup, yang didefinisikan Mufasa sebagai perjalanan menuju Milele.
Film berdurasi hampir dua jam ini memadukan keindahan visual, emosi mendalam, dan alur cerita berlapis. Ia mengeksplorasi bagaimana seorang raja besar, Mufasa, terbentuk dari masa kecil yang penuh tantangan hingga menjadi pemimpin yang dihormati.
Sejak menit pertama, film ini memanjakan mata penonton dengan pemandangan Afrika yang hidup. Teknologi CGI menghidupkan lanskap dari padang savana luas hingga gemerlap langit malam berbintang. Setiap detail dirancang cermat, menciptakan pengalaman visual bak lukisan yang bergerak.
Namun, daya tarik utama Mufasa bukan hanya teknologi, melainkan cara penceritaannya yang segar dan “manusiawi”. Film ini membuka tirai kehidupan masa kecil Mufasa, saat ia menjadi anak singa yatim piatu akibat banjir besar yang memisahkannya dari orang tua.
Dengan bantuan Rafiki, legenda Mufasa diturunkan kepada Kiara, putri Simba dan Nala, ditemani Timon dan Pumbaa dengan humor khas mereka. Separuh film berupa kilas balik, memperkenalkan Mufasa sebagai anak singa yang tersesat dan sendirian hingga bertemu Taka.
Kehidupan Mufasa jauh dari kemewahan calon raja. Ia tumbuh di lingkungan keras, penuh tantangan, dan kerap mempertanyakan keberadaannya. Ia ditemukan Taka, singa sebaya pewaris garis keturunan kerajaan.
Sayangnya, Mufasa tak pernah diterima ayah Taka, raja di kawanan tersebut. Atas permintaan Taka dan ibunya, Mufasa bergabung dengan kawanan, namun tinggal bersama induk dan betina lain. Kondisi ini justru melatih kepekaan inderanya. Ia terbiasa dilatih sensitif seperti singa betina yang cepat dan andal berburu.
Sutradara Barry Jenkins, yang sebelumnya sukses dengan Moonlight (2016), membawa sentuhan emosional mendalam pada karakter Mufasa. Jenkins menyoroti bagaimana trauma masa lalu, kehilangan, dan pengkhianatan membentuk kekuatan dan kebijaksanaan Mufasa.
Narasi film bergerak dengan ritme yang pas, memadukan adegan emosional yang menyentuh dengan momen aksi yang memacu adrenalin. Penonton diajak menyelami perjalanan Mufasa menuju dewasa, ditemani karakter pendukung yang tak kalah menarik. Taka, yang kelak bernama Scar, digambarkan sebagai saudara yang kompleks, penuh cemburu namun tetap manusiawi. Hubungan mereka menjadi elemen paling menarik, menciptakan dinamika yang lebih kaya dari sekadar kisah baik melawan jahat.
Baca Juga:
Beragam Genre Warnai Perfilman Indonesia Sepanjang 2024
Musik menjadi salah satu kekuatan utama film ini. Hans Zimmer kembali dengan skor megah, ditambah kontribusi Pharrell Williams dan Lebo M, memberikan nuansa segar tanpa menghilangkan esensi nostalgia. Musik bukan sekadar penghias, melainkan narasi tersendiri yang memperkuat emosi setiap adegan. Lagu-lagu baru berpadu harmonis dengan tema klasik seperti “Circle of Life,” menciptakan pengalaman yang menyentuh.
Kepemimpinan Sejati
Film ini juga menyentuh isu universal tentang identitas, keberanian, dan pengorbanan. Bagaimana seekor anak singa biasa mampu melampaui keterbatasannya menjadi raja besar? Film ini menjawabnya dengan pesan bahwa kepemimpinan sejati lahir bukan dari kekuatan fisik semata, melainkan dari kebijaksanaan, kasih sayang, dan keberanian mengambil keputusan sulit.
Namun, Mufasa tak sepenuhnya tanpa cela. Bagi sebagian penonton, narasi awal mungkin terasa lambat. Namun, pendekatan ini memperkuat ikatan emosional penonton dengan karakter. Pembangunan karakter Mufasa dinilai belum sekuat film sebelumnya, sehingga kegagahannya sebagai raja belum sepenuhnya tergambar. Karena menyasar segmen anak, adegan brutal hanya digambarkan dengan metafora seperti burung beterbangan dan musik ironis.
Performa suara para aktor patut diacungi jempol. Aaron Pierre sebagai Mufasa muda memberikan nuansa hangat, emosional, dan meyakinkan. Kelvin Harrison Jr. sebagai Taka/Scar memberikan lapisan yang lebih dalam pada karakter ini. Pengisi suara Timon dan Pumbaa, Seth Rogen dan Billy Eichner, memberikan sentuhan humor di tengah tema berat film.
Barry Jenkins berhasil memberikan warna baru pada film ini tanpa menghilangkan esensi aslinya. Ia menggali emosi setiap adegan, mengemasnya dalam visual megah, dan menyajikan cerita yang personal sekaligus universal.
Mufasa mengingatkan bahwa di balik setiap pemimpin besar, ada cerita perjuangan yang sering terlupakan. Film ini mengajak penonton melihat sisi lain Mufasa, bukan hanya sebagai raja bijak, tetapi juga individu yang pernah rapuh dan ragu, namun terus melangkah dengan keyakinan. Kisahnya mengajarkan bahwa siapa pun, sekecil atau selemah apa pun, berpotensi menjadi luar biasa.
Saat kredit bergulir, penonton meninggalkan bioskop dengan perasaan campur aduk antara haru, kagum, dan nostalgia. Mufasa bukan sekadar film, melainkan pengalaman yang membekas, perayaan kekuatan diri untuk bangkit dan menemukan takdirnya, Milele, yang sebelumnya dianggap mitos. Film ini adalah salah satu karya animasi terbaik Disney dalam beberapa tahun terakhir. Bagi penggemar The Lion King, Mufasa adalah hadiah istimewa yang mengisi celah cerita dan menambahkan dimensi baru pada Pride Lands. Seperti matahari terbit di Afrika, kisah ini mengingatkan bahwa setiap perjalanan, sesulit apa pun, selalu mengarah pada terang yang baru. ANTARA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News