Kabupaten Kepulauan Anambas, yang dikenal sebagai kabupaten termuda di Provinsi Kepulauan Riau, menghadapi krisis keuangan. Di penghujung masa jabatan Abdul Haris dan Wan Zuhendra, kondisi fiskal pemerintah daerah nyaris kolaps. Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) tertunda lebih dari sebulan. Tunjangan kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak pegawai juga belum dibayarkan.
Penulis: Wisnu Een, wartawan gokepri
Masalah ini tidak hanya memengaruhi pegawai pemerintah, tetapi juga berdampak luas pada perekonomian lokal. Anambas yang ekonominya bergantung pada nelayan, petani, dan pekerja pemerintah kini berada di bawah tekanan berat. UMKM, petani, dan pedagang kehilangan daya beli masyarakat, sementara pihak swasta seperti kontraktor proyek pemerintah menghadapi pembayaran yang tertunda.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar tentang tata kelola keuangan daerah. Beberapa fasilitas umum lumpuh, termasuk kantor-kantor pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa. Operasional transportasi laut, seperti kapal Roll On Roll Off atau Roro penghubung antar desa, juga terhenti akibat ketiadaan bahan bakar. Krisis ini menegaskan lemahnya kemandirian fiskal Anambas, yang sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Krisis keuangan bukan masalah baru di Anambas. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kerap menggunakan solusi sementara berupa “tunda bayar.” Namun, ini bukan solusi permanen. Langkah ini hanya menunda masalah dan memperburuk kepercayaan masyarakat. Seharusnya, pemerintah belajar dari kesalahan masa lalu. Pepatah, “keledai tidak jatuh di lubang yang sama dua kali,” seharusnya menjadi pengingat untuk tidak mengulang strategi yang terbukti tidak efektif.
Anambas memiliki potensi besar yang belum digarap secara maksimal. Sumber daya alam melimpah seperti perikanan, pariwisata bahari, dan cadangan migas belum dikelola secara strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hubungan pemerintah daerah dengan pusat juga tampak kurang efektif, terlihat dari minimnya perhatian pada potensi strategis wilayah ini.
Saat ini, Anambas hanya menjadi daerah penerima dana transfer pusat tanpa inovasi berarti dalam memperkuat pendapatan lokal. Jika dikelola dengan baik, sumber daya alam Anambas dapat menjadi modal besar untuk membangun kemandirian ekonomi daerah.
Menjelang akhir masa jabatannya, Abdul Haris dan Wan Zuhendra harus bertanggung jawab menyelesaikan krisis ini secara bijak. Rapor akhir mereka di mata masyarakat akan ditentukan oleh langkah-langkah nyata yang diambil dalam beberapa bulan terakhir kepemimpinan mereka.
Sementara itu, pemimpin baru yang akan melanjutkan roda pemerintahan perlu menjadikan kekeliruan ini sebagai pelajaran penting. Mereka harus fokus pada pengelolaan sumber daya alam, menarik lebih banyak dana pusat, dan memastikan keuangan daerah dikelola secara transparan dan akuntabel.
Mengatasi masalah ini membutuhkan kolaborasi erat antara seluruh pemangku kepentingan di Anambas. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membangun daerah ini. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia, inovasi kebijakan, dan penerimaan kritik yang membangun adalah kunci untuk membawa Anambas keluar dari krisis.
Anambas memiliki peluang besar untuk bangkit. Dengan langkah yang tepat dan keberanian untuk berubah, daerah ini dapat menjadi contoh keberhasilan pengelolaan daerah terpencil yang mandiri dan sejahtera. ***
Baca Juga Opini Lain:
- Mengukur Tingkat Kemandirian Fiskal Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
- Mengupas Indeks Ketahanan Pangan di Provinsi Kepri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News