Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi kepulauan terluas di Indonesia dengan 98% wilayah perairan dan 2% wilayah daratan. Konsekuensi logis dari kondisi adalah terbatasnya lahan daratan yang tersedia untuk mengembangkan sektor pertanian dan Perkebunan.
Karakteristik wilayah yang berbeda dengan mayoritas provinsi daratan, menyebabkan ketergantungan Kepri dengan daerah lain dalam hal pemenuhan bahan pangan kebutuhan pokok seperti beras, sayur, dan lainnya.
Produksi beras Kepri, sebagai contoh, terus mengalami penurunan sejak 2018 sebesar 624,48 ton menjadi 242,12 ton pada 2023, dipicu oleh penurunan luas lahan pertanian sebesar 69,33% selama periode 2018-2023, serta pergeseran pola pekerjaan masyarakat usia produktif yang mulai enggan menadi petani karena dirasa memiliki pendapatan yang relatif kecil.
Lahan pertanian yang terbatas, luas lahan yang terus menurun berimbas pada turunnya produksi beras mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan beras daerah tidak mencapai 1% dari total konsumsi, dan sisanya sebesar 99% harus dipenuhi melalui impor baik dari dalam maupun luar negeri.
Isu ketahanan pangan menjadi fokus utama dalam pembahasan Asset Liabilities Committee (ALCo) periode Oktober 2024 bersama jajasan Kantor Wilayah Kementerian Keuangan di Provinsi Kepri.
Ketergantungan impor pangan dan terus menurunnya produksi beras lokal mengancam ketahanan pangan di Provinsi Kepri. Sampai dengan Oktober 2024, persediaan beras di Kepri tercatat sebanyak 81,713 ton atau diperkirakan Kepri masih sanggup bertahan selama 149 hari atau kurang lebih lima bulan tanpa pasokan baru.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) merilis data Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Kepri pada 2023 sebesar 65,10 atau berada di peringkat 30 dari 34 provinsi di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa IKP Kepri tergolong sangat rendah. Berdasarkan pilar ketahanan pangan, dari aspek keterjangkauan Kepri memiliki nilai 88,85 dan aspek pemanfaatan sebesar 78,24, namun dari aspek ketersediaan memiliki nilai nol (tahun 2022 sebesar 5,83).
Dalam enam tahun terakhir, angka IKP Kepri terus mengalami kenaikan signifikan walaupun masih level rendah. Pada 2018, dengan nilai 58,80 dan terus meningkat menjadi 65,10 pada 2023. Kondisi ini membuktikan bahwa Kepri membutuhkan upaya intensifikasi pertanian seperti program varietas unggul, teknologi pertanian modern, subsidi pupuk, dan bibit unggul.
Sementara itu, IKP kabupaten/kota di Kepri masih didominasi oleh Batam dengan nilai 88,10 diikuti oleh Tanjungpinang sebesar 77,75, dan kabupaten terendah adalah Lingga sebesar 52,41 dan Anambas sebesar 55,72.
Perkembangan Produksi Pangan
Konsumsi beras di Kepri terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 128.542 ton per tahun pada 2018 menjadi 138.800 ton per tahun pada 2023. Namun peningkatan konsumsi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras di Kepri yang justru trennya terus menurun setiap tahun.
Kondisi tersebut memicu pemenuhan kebutuhan konsumsi beras melalui jalur impor dari daerah lain seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara, termasuk suplai dari negara lain seperti Thailand dan Vietnam.
Data produksi padi dan beras di Kepri dari seluruh kabupaten/kota menunjukkan tren penurunan. Produksi padi dari 1.097 ton pada 2018 merosot menjadi 423,11 ton pada 2023. Demikian juga beras merosot dari 624,48 ton pada 2018 menjadi 242,12 ton pada 2023. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah semakin sempitnya luas lahan pertanian akibat pembangunan daerah dan berkurangnya minat SDM usia produktif untuk menjadi petani di daerah.
Luas lahan pertanian di Kepri terus merosot signifikan dari 375,87 hektare pada 2018 menjadi 115,27 hektare pada 2023. Akibatnya, produksi pada juga menunjukkan penurunan akibat berkurangnya lahan pertanian. Adapun Tingkat produktivitas lahan dibandingkan produksi padi juga berfluktuatif setiap tahunnya. Pada 2023, produktivitas lahan hanya mencapai 3,04 ton per hektare.
Penyediaan bahan pangan yang berkelanjutan dan terjangkau tentu harus menjadi fokus utama bagi pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Karena kagagalan dalam memberikan bahan pangan yang terjangkau maka dapat memicu meningkatnya angka kemiskinan.
IKP dapat menjadi salah satu indikator terhadap perkembangan jumlah penduduk miskin di Kepri, di mana ketika masyarakat sulit mengjangkau bahan pangan pokok tentunya akan mendukung peningkatkan jumlah penduduk miskin. Garis kemiskinan di Kepri pada 2024 tercatat sebesar Rp908.397 per bulan. Angka garis kemiskinan ini terus meningkat dari tahun 2018 sebesar Rp559.291 per bulan.
Berdasarkan garis kemiskinan tersebut, di Kepri terdapat 138.300 penduduk miskin pada 2024. Seiring dengan peningkatan indeks ketahanan pangan pada 2023, maka penduduk miskin juga mengalami penurunan menjadi 5,69% secara year-on-year. Jumlah penduduk miskin Kepri tercatat sebanyak 5,69% dari jumlah penduduk pada 2023.
Keberlanjutan dan Keterjangkauan
Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan 17 target dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yang di antaranya adalah tanpa kemiskinan (target nomor 1) dan mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, memperbaiki nutrisi dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan (target nomor 2).
Dalam pencapaian target tersebut, Badan Pangan Nasional mempunyai tugas dan peran untuk melakukan koordinasi, menetapkan dan melaksanakan kebijakan pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan.
IKP yang disusun per provinsi dan kabupaten tersebut mengadopsi pengukuran indeks global (Global Food Security Index/GFSI) dengan berbagai penyesuaian metodologi sesuai dengan ketersediaan data dan informasi di tingkat wilayah kabupaten/kota dan provinsi. IKP ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA), karena indikator yang digunakan dalam IKP merupakan indikator yang juga digunakan dalam penyusunan FSVA Nasional.
IKP Nasional memiliki peran yang sangat strategis dalam mengukur capaian pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, mengukur kinerja daerah dalam memenuhi urusan wajib pemerintah, dan merupakan salah satu alat dalam menentukan prioritas pembangunan daerah dan prioritas intervensi program.
Secara khusus, penyusunan IKP Nasional dilakukan dengan tujuan mengevaluasi capaian ketahanan pangan dan gizi wilayah kabupaten/kota dan provinsi, serta memberikan gambaran peringkat (ranking) pencapaian ketahanan pangan wilayah kabupaten/kota dan provinsi dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota dan provinsi lain. IKP yang disusun diharapkan dapat digunakan sebagai dasar saat melakukan intervensi program sehingga lebih fokus dan tepat sasaran.
Kita patut bersyukur di tengah keterbatasan yang dimiliki, Pemerintah Provinsi Kepri mampu membuat capaian indikatif di sektor ketahanan pangan salah satunya Tingkat prevalence of undernourishment (PoU) atau Tingkat ketidakcukupan konsumsi pangan. Sampai 2024, angka PoU Kepri sebesar 9,55% dari total penduduk atau turun 0,28% poin dibandingkan 2023 sebesar 9,83%.
PoU terendah terdapat di Kota Batam dengan angka 7,87% pada 2024 atau meningkat 0,34% poin dibandingkan 2023 (7,53% dari total penduduk). Ini sejalan dengan terus menurunnya jumlah penduduk miskin di Batam yaitu 4,85% dari jumlah penduduk. Secara umum penurunan PoU di Kepri selama periode 2023–2024 sejalan dengan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi ini.
Sementara itu PoU tertinggi di Kepri terdapat di Kabupaten Lingga dengan angka 20% pada 2024 atau turun 4,11% poin dibandingkan 2023 atau 24,11% dari jumlah penduduk. Angka ini cukup relevan dengan masih tinggi angka penduduk miskin di Lingga yang mencapai 9,99% dari jumlah penduduk.
Tidak ada acara lain selain mengoptimalkan produksi pangan Kepri dengan memperbaiki program diversifikasi dan intensifikasi pangan di daerah-daerah yang masih memiliki potensi pertanian yang besar.
Selain itu, kerja sama dengan daerah penghasil juga harus semakin ditingkatkan agar pasokan bahan pangan pokok tidak menemui kendala terutama di musim-musim hari besar keagamaan.
Kita berharap ketahanan pangan wilayah ini semakin kuat dan kebutuhan pokok masyarakat bisa tetap terpenuhi dengan prinsip keterjangkauan harga dan ketersediaan yang cukup. Semoga pemimpin baru Kepri bisa mewujudkannya!. ***
Baca Opini Lainnya:
- Dampak Perubahan Iklim dan Langkah Mitigasi di Daerah
- Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas di Provinsi Kepulauan Riau
- Mengukur Tingkat Kemandirian Fiskal Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News