“Politik adalah seni dari segala kemungkinan, kreativitas adalah seni dari segala ketidakmungkinan.” – Ben Okri
Politik adalah seni. Seni berkomunikasi, seni memainkan peran, dan seni meyakinkan lawan bicara.
Berbicara politik sebagai seni, tentu harus memandang politik secara holistik, secara menyeluruh, tidak secara parsial hanya menilai politik sebagai alat meraih kepentingan (kekuasaan). Ibarat seorang seniman yang menggoreskan setiap goresan secara detail setiap bagian hingga menjadi sebuah keseluruhan lukisan yang penuh makna. Memandang secara holistik dalam sebuah politik, maka tidak cukup jika merasa memiliki sense of politics tapi tidak tahu apa sebenarnya visi dari sebuah bangunan politik.
Politik itu dinamis, sebab di dalamnya banyak terdapat variabel. Karenanya memandang politik itu hitam putih adalah sebuah kesalahan pemahaman dan sikap.
Oleh sebab itu dalam memandang, menghadapi dan menyikapi berbagai dinamika politik yang ada perlu kearifan dan keluasan sudut pandang, sehingga tidak terjebak keriuhan sumpah serapah dan saling hujat akibat perseteruan dan beda pandangan politik yang berpotensi dapat memecah keutuhan dan persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Ada tiga nilai penting dalam ajaran kearifan manusia Jawa, yakni tentang prinsip; hidup ojo kagetan, ojo gumunan dan ojo dumeh, yang mungkin tepat diterapkan bangsa Indonesia khususnya dalam menghadapi dinamika politik saat ini.
Ojo kagetan, jangan gampang terkejut. Segala kejadian di alam dunia telah tercatat dalam skenario besar Tuhan Yang Maha Pencipta. Tidak mudah terkejut salah satunya dapat dimaknai sebagai sifat Tawakal pada kekuasaan Yang Maha Kuasa.
Watak ojo kagetan mendidik kita untuk tidak berbesar kepala menyikapi keberhasilan, dan juga tidak putus asa menghadapi kegagalan. Sisi lain dari nilai ojo kagetan adalah mengimani takdir. Dengan selalu sadar bahwa semua kejadian adalah skenario Tuhan, ojo kagetan mendidik kita untuk tidak latah berandai-andai, ”Ah… seandainya yang terjadi demikian dan demikian.”
Tidak gampang menuduh orang lain, ”Ah, ini pasti gara-gara si anu.” Tidak gampang mengutuk dan tidak takabur.
Ojo gumunan, jangan mudah takjub. Ini adalah sebuah ajaran untuk menyikapi peristiwa hidup dengan bijak, arif, jauh dari prasangka, mengambil sikap yang wajar sesuai dengan proporsinya, dan tidak berlebihan.
Dalam dunia yang semakin rumit, banyak tipu daya yang bisa merugikan kita sebagai manusia. Sikap ojo gumunan mengingatkan kita untuk eling dan waspada. Banyak hal yang terlihat baik, terlihat manis, namun ternyata acapkali menjerumuskan manusia ke situasi yang bisa menghancurkan martabat. Jangan larut pada hal-hal yang terlihat indah, tetaplah mempertimbangkan kebenaran dan akal sehat.
Nilai kedua dari ojo gumunan adalah ajaran untuk menjauhi watak tamak, serakah dan menuruti hawa nafsu. Sifat-sifat buruk itu salah satunya dipicu oleh mudahnya manusia terhipnotis oleh bujuk rayu dunia. Seseorang yang gampang takjub, akan mudah terangsang pada hal-hal duniawi dan pada akhirnya muncul hasrat untuk memiliki dan menguasai alias tamak dan serakah.
Sisi lain yang terpelihara oleh premis ojo gumunan ini adalah agar kita tidak menjadi orang yang gampang kecewa. Orang yang gampang takjub akan mudah terpengaruh, gampang diperdayai, gampang dijerumuskan. Pada akhirnya, ketika kenyataan tak sesuai harapan, orang yang gampang takjub akan merasa kecewa, bahkan bisa membenci sesuatu yang awalnya dikagumi.
Ojo dumeh, jangan mentang-mentang. Ini adalah pesan untuk selalu rendah hati, sabar dan mengendalikan diri. Masing-masing kita memiliki status, yang rawan menjebak kita pada situasi untuk merasa istimewa, merasa lebih hebat dari orang lain. Tak sedikit orang yang merasa berkuasa lalu timbul ambisi untuk memperkaya diri atau memperbudak orang lain. Ada orang yang merasa hebat lalu terbiasa meremehkan dan merendahkan orang lain.
Dunia ini adalah alam yang dinamis. Apapun bisa saja terjadi. Semesta ini adalah semesta yang senantiasa berputar. Sesuatu yang kemarin berada di bawah, hari ini mungkin berada di atas. Dan sebaliknya apa yang kemarin di atas, bisa saja besok atau lusa terhampar di bawah. Hari ini boleh jadi terlihat hebat dan berkuasa, besok mungkin saja ia terhinakan oleh karena tindak perbuatannya. Jangan terlalu banyak tertawa ketika senang, jangan gampang mengutuk di kala susah.
Pada sisi lain. Hakikatnya tiada kemustahilan selama manusia berupaya dengan tawakal dan sungguh-sungguh. Kita tak boleh menyerah pada keterbatasan. Sesuatu terkadang terlihat sulit, hanya karena kita belum mencobanya. Sesuatu terkadang terlihat menarik, padahal banyak tipu daya di belakangnya.
Mari kita jalani hidup secara lebih arif, jangan mudah terkejut, jangan mudah takjub dan jangan mentang-mentang.
Catatan Akhir
Manusia adalah makhluk politik, begitu ungkapan dari Aristoteles (384-322 SM). Ungkapan itu menegaskan bahwa berpolitik merupakan “fitrah”, tabiat, atau sifat dan perilaku alamiah manusia.
Jadi, wajar jika dalam setiap dinamika politik yang terjadi publik bereaksi, merespon dengan cara dan kemampuan masing-masing.
Justru menjadi aneh jika publik diam saja, tetap bergeming dan tidak memberikan reaksi apa pun. Terlebih dalam setiap kebijakan politik, implikasinya akan sangat terasa dalam kehidupan nyata.
Namun demikian dalam merespons segala dinamika politik yang ada, mesti dengan kepala dingin, tidak perlu emosional dan apalagi sampai menjustifikasi politik itu buruk dan kotor, sehingga memilih apolitik.
Ketika ada seseorang memilih apolitik, hakikatnya ia telah kehilangan sebagian dari tabiat dasarnya, yakni makhluk politik.
Manusia dan politik merupakan dua jenis entitas yang tidak dapat dipisahkan. Politik adalah sebuah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia. Aristoteles menggariskan tentang posisi manusia terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan demi mencapai kemaslahatan publik.
Di sinilah letak perbedaan mendasar antar manusia dengan makhluk lain yang tidak memiliki kapasitas berpolitik, untuk meraih tujuan hidupnya. Oleh karena itu, manusia secara etis dituntut untuk membuktikan bahwa dirinya berbeda dengan makhluk lainnya.
***
Baca Juga: Wayang, Budaya Adiluhung Bangsa