Jajak pendapat global utama yang dilakukan oleh YouGov-Cambridge Globalism Project menunjukkan bahwa Indonesia dan AS adalah negara dengan persentase penyangkal perubahan iklim tertinggi di dunia.
Dalam survei yang dilakukan pada Juli dan Agustus, 21 persen orang Indonesia dan 19 persen orang Amerika mengatakan bahwa perubahan iklim tidak nyata atau bahwa manusia tidak bertanggung jawab. Sementara hanya 3 persen orang Indonesia yang mengatakan bahwa perubahan iklim tidak terjadi sama sekali, angka itu adalah 5 persen di AS.
Jumlah penyangkal langsung juga tinggi di beberapa negara dalam survei tersebut, meskipun mereka mendapat skor lebih rendah pada penyangkalan perubahan iklim secara keseluruhan.
Negara lain dengan tingkat penyangkal tinggi adalah Arab Saudi dan Mesir, dua negara lagi yang bergantung pada bahan bakar fosil untuk ekspor atau penggunaan di dalam negeri. India, yang berada di peringkat keempat, adalah contoh penting negara yang berurusan dengan berita palsu dan penyebaran kepercayaan konspirasi akhir-akhir ini, yang dapat berkontribusi pada hasil tersebut.
Hal ini tidaklah mengherankan. Sebagai negara yang sangat memahami dampak perubahan iklim, masyarakat Indonesia dan pemerintahnya relatif tidak siap menghadapi konsekuensinya. Fakta ini membuktikan bahwa rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap perubahan iklim dapat mempercepat atau memperburuk dampak perubahan iklim tersebut di Indonesia atau pun di negara lain.
Kita mungkin lupa bahwa aktivitas manusia dalam menggunakan kendaraan bermotor dan pembangkit Listrik berbahan bakar fosil, pembuangan limbah, dan deforestasi hutan akan meningkatkan pembuangan gas karbon ke udara sehingga meningkatkan suhu bumi dan menggeser siklus musim menjadi tidak teratur.
Padahal, kepedulian Masyarakat ini diharapkan dapat menjadi motor gerakan perbaikan perubahan iklim dan pemerintah melalui regulasi dan kebijakan fiskal dapat mengarahkannya menjadi sebuah gerakan bersama.
Tentu saja pemerintah memiliki peran penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim melalui kebijakan dan regulasi anggaran yang tepat terutama dalam memitigasi dampak yang lebih luas melalui pembatasan emisi gas karbon, pengaturan limbah berbahaya, pengelolaan sampah, daur ulang, dan pengembangan energi baru terbarukan.
Grafik 1. The Most Deniers Country
Perubahan iklim telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh manusia pada abad ke-21. Perubahan iklim merujuk pada perubahan jangka panjang dalam pola cuaca rata-rata atau distribusi kejadian cuaca ekstrem di seluruh dunia. Perubahan in disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama esteem peningkatan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan metana ke atmosfer.
Beberapa fenomena yang telah terjadi dan terus berlangsung sebagai akibat dari terjadinya perubahan iklim antara lain mencakup: 1) Pemanasan Global: temperatur rata-rata global meningkat, yang berkontribusi pada perubahan cuaca ekstrem, pencairan es, dan kenaikan permukaan air laut; 2) Perubahan Pola Hujan: Pola hujan menjadi lebih tidak stabil, dengan beberapa daerah mengalami kekeringan parah, sementara tempat lain mengalami banjir; 3) Kenaikan permukaan air laut: pencairan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan menyebabkan kenaikan permukaan air laut, mengancam pulau-pulau kecil dan pesisir; 4) Kerusakan Lingkungan: perubahan iklim menyebabkan kerusakan habitat alami dan kehilangan keanekaragaman hayati, mengancam ekosistem dan spesies; 5) Kesehatan masyarakat: perubahan iklim dapat meningkatkan risiko penyakit terkait cuaca ekstrem, seperti penyakit infeksi dan gangguan pernapasan (ISPA).
DAMPAK EKONOMI
Dampak perubahan iklim tersebut tidak hanya terbatas pada lingkungan alam, tetapi juga merambah ke sektor ekonomi global. Perubahan suhu, peningkatan tingkat laut, cuaca ekstrem, dan pola iklim yang tidak terduga semakin menantang ketahanan ekonomi dunia.
Beberapa contoh dampak perubahan iklim terhadap perekonomian antara lain:
– Kerugian di sektor pertanian; Perubahan iklim dapat menyebabkan ketidakstabilan produksi pangan karena dampaknya terhadap cuaca dan kondisi pertanian. Peningkatan suhu yang ekstrem, kekeringan, dan banjir dapat mengurangi hasil panen dan mengganggu rantai pasokan pangan. Ini akan mengakibatkan kenaikan harga pangan dan ketidakpastian pasokan, memengaruhi kedaulatan pangan suatu negara dan meningkatkan risiko kelaparan.
– Ancaman terhadap infrastruktur dan properti; Fenomena cuaca ekstrem, seperti badai tropis yang semakin kuat dan banjir yang lebih sering, meningkatkan risiko kerusakan pada infrastruktur kritis dan properti. Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi sektor properti, tetapi juga industri asuransi dan keuangan. Klaim asuransi yang meningkat dapat menyebabkan kenaikan premi dan biaya asuransi, sementara kerugian infrastruktur dapat mengganggu aktivitas ekonomi dan pertumbuhan.
– Ancaman terhadap industri pariwisata; Perubahan iklim dapat mengganggu daya tarik destinasi pariwisata karena cuaca ekstrem, kenaikan suhu, atau perubahan ekosistem. Ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan, pendapatan pariwisata, dan lapangan kerja terkait industri pariwisata. Negara-negara yang bergantung pada pariwisata sebagai sumber pendapatan utama akan terkena dampak secara ekonomi.
– Peningkatan Biaya Kesehatan; Peningkatan Biaya Kesehatan akibat perubahan iklim juga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, yang pada akhirnya akan memengaruhi Tingkat perekonomian. Penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti malaria dan demam berdarah dapat menyebar lebih luas karena iklim yang lebih hangat dan kondisi lingkungan yang memungkinkan bagi vektor penyakit untuk berkembang biak. Biaya perawatan kesehatan yang meningkat akibat peningkatan penyakit menular akan mengurangi produktivitas tenaga kerja dan menimbulkan beban ekonomi pada sistem kesehatan.
– Tantangan Bagi Keuangan Global; Kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam dapat memberikan tekanan pada pasar keuangan, memengaruhi harga aset, dan memperburuk stabilitas keuangan global. Institusi keuangan juga harus menghadapi risiko investasi yang meningkat terkait dengan proyek-proyek yang terkena dampak langsung atau tidak langsung oleh perubahan iklim.
DAMPAK DI DAERAH
Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Riau (Kepri) menunjukkan provinsi kepulauan merupakan wilayah dengan tingkat kerentanan bencana yang cukup tinggi. Identifikasi bencana yang dilakukan terhadap tujuh kabupaten/kota menunjukkan bencana tanah longsong, banjir, banjir bandang, kebakaran hutan masuk kategori kerawanan tinggi, sedangkan gelombang ekstrim masuk kategori sedang.
Sementara itu korban yang jatuh akibat bencana alam di Kepri tercatat sebanyak 48 orang meninggal akibat tanah longsong di Natuna beberapa waktu lalu, kemudian korban banjir sebanyak 9.281 orang yang merata di enam kabupaten/kota, korban kekeringan sebanyak 496 orang di Bintan, dan korban cuaca ekstrim sebanyak 584 orang di Batam, Lingga, Bintan, Karimun.
Kenaikan suhu udara merupakan sinyal terjadinya perubahan iklim di suatu daerah. Menurut Data BMKG Tanjungpinang (2024), di Kota Tanjungpinang rata-rata mengalami peningkatan suhu udara mencapai 0,003°C per tahun. Apabila konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat, dikhawatirkan pada akhir abad 21 kenaikan suhu akan mencapai 3,5–4,0°C. Kemudian, apabila pemerintah, masyarakat dan sektor swasta melakukan business as usual/tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, potensi perubahan suhu udara rata-rata tahunan Kepri berkisar antara 1,03–1,08°C.
Hal tersebut akan berdampak pada semakin tidak nyaman untuk beraktivitas di dalam maupun di luar ruangan. Tren peningkatan suhu maksimal pada Kepri, terlihat pada tahun 2021 suhu udara maksimal mencapai 36,8 °C.
Grafik 2. Perubahan Suhu Udara di Kepri Tahun 2013- 2021
Salah satu bukti dari terjadinya perubahan iklim, yaitu kenaikan permukaan air laut yang dapat menyebabkan pulau-pulau air kecil ini tergenang hingga tenggelam. Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebanyak 26 pulau tenggelam di Kepri. Pulau tenggelam tersebut diantaranya Pulau Terumbu Daun, Lereh, Tikus, Inggit, dan Begonjai. Selanjutnya, kegiatan penambangan pasir laut juga mendorong percepatan kenaikan permukaan air laut, hal ini merupakan dampak nyata bahaya dari penambangan pasir laut.
Kepri sendiri merupakan provinsi dengan wilayah kepulauan yang luas, dengan proporsi 96% lautan dan hanya 4% daratan serta banyak pulau-pulau kecil di dalamnya termasuk pulau Bintan yang menjadi lokasi Ibu Kota Kepri yaitu Kota Tanjungpinang termasuk kategori pulau kecil dan pesisir. Tentunya kondisi perubahan iklim ini akan sangat berdampak kepada masyarakat pesisir di wilayah Kepri.
Di Kepri, perubahan suhu dan pola curah hujan ekstrem sangat mempengaruh produktivitas tanaman pangan. Panas yang ekstrem dapat merusak tanaman dan mengurangi hasil panen, curah hujan yang tinggi juga dapat menyebabkan gagal panen akibat pertanian, perkebunan dan persawahan yang tergenang oleh air.
Terlebih lagi, Kepri memiliki curah hujan yang cukup tinggi, dengan kenaikan curah hujan mencapai mencapai 0,05 mm per tahun. Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Kesehatan Hewan senantiasa berkoordinasi dengan BMKG lingkup wilayah Kepri untuk menentukan waktu tanam tanaman pangan, dan untuk menghindari potensi gagal panen akibat cuaca ekstrem.
Hasil FGD dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri mengungkap peningkatan suhu air laut, keasaman laut, dan perubahan pola arus laut dapat mengganggu ekosistem laut dan mengurangi hasil tangkapan perikanan. Hal Ini dapat berdampak pada pendapatan nelayan dan industri perikanan regional.
Penelitian yang dilakukan di perairan Pulau Bintan menemukan kenaikan suhu air laut telah menyebabkan terjadinya coral bleaching (pemutihan karang) di perairan Banyan Tree, Pulau Bintan. Rusaknya terumbu karang akan membuat ekosistem laut menjadi tidak seimbang serta flora dan fauna laut akan mati, hal ini berdampak pada penurunan sumber pangan manusia yang berasal dari hasil laut.
Faktor perubahan iklim sangat mempengaruhi infrastruktur transportasi dan mobilitas masyarakat di daerah Kepri yang mengandalkan transportasi laut untuk mobilitas antar kabupaten/kotanya. Kondisi cuaca ekstrem seperti curah hujan yang tinggi, angin utara, dan naiknya permukaan air laut akan menyebabkan tidak dapat digunakannya transportasi laut, yang berdampak pada mobilitas barang, dan pangan.
Terhambatnya mobilitas barang dan pangan antar kabupaten/kota akan mempengaruhi perekonomian, yaitu dengan naiknya harga barang dan pangan di Kepri.
PERAN PEMERINTAH
Pemerintah daerah dalam memitigasi dampak perubahan iklim di Provinsi Kepri, meliputi berbagai sektor yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi emisi GRK. Pendekatan analisis tematik dilakukan dengan dua metode, yaitu intervensi pemerintah melalui kebijakan belanja dan non belanja.
Alokasi dan realisasi anggaran belanja untuk memitigasi perubahan iklim merupakan langkah krusial dalam upaya pemerintah untuk mengurangi emisi GRK dan menanggulangi
dampak perubahan iklim secara lebih luas. Pemerintah pusat melalui Kementerian/Lembaga (K/L) mengalokasikan anggaran untuk mengintervensi perubahan iklim yang terjadi di Kepri melalui dua jenis alokasi, yaitu alokasi anggaran mitigasi dan alokasi anggaran adaptasi perubahan iklim.
Pemerintah perlu menetapkan prioritas dalam alokasi anggaran untuk memitigasi perubahan iklim. Hal ini dapat mencakup investasi dalam energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam, dan proyek infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim.
Namun dalam prakteknya, belum semua pemda di Kepri yang memiliki kepedulian yang sama dalam memitigasi perubahan iklim ini. Terlihat dari jumlah pemda yang telah mengesahkan peraturan daerah terkait mitigasi perubahan iklim dan alokasi anggaran khusus dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini.
Data menunjukkan alokasi anggaran untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepri pada 2023 sebesar Rp13,202 miliar atau turun dibandingkan 2022 sebesar Rp15,116 miliar. Dalam anggaran 2023, kurang lebih Rp1,12 miliar dialokasikan untuk bantuan korban bencana atau 23,38% dari Rp4,8 miliar dana program penanggulangan bencana. Jumlah tersebut kurang lebih 8,52% dari total alokasi anggaran BPBD Provinsi Kepri tahun 2023 yang sebesar Rp13,202 miliar.
Anggaran penanggulangan bencana sendiri turun 36,17% dibandingkan 2022 sebesar Rp7,53 miliar. Sementara itu, alokasi untuk administrasi dan urusan pemerintahan daerah dalam penanggulangan bencana ini justru turun tipis 3,47% dari Rp8,6 miliar menjadi Rp8,3 miliar pada 2023.
Berbagai kejadian bencana yang terjadi di seluruh wilayah Provinsi Kepri merupakan indikasi bahwa perubahan iklim itu memang nyata terjadi dan telah memberikan dampak dan jatuhnya korban jiwa.
Perlu langkah strategis oleh pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan dalam mempersiapkan mitigasi resiko perubahan iklim ini agar dampak yang terjadi bisa diminimalisir terutama bagi Masyarakat yang berada di wilayah rentan bencana. ***
Baca Artikel Opini Lain:
- Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas di Provinsi Kepulauan Riau
- Mengukur Tingkat Kemandirian Fiskal Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News