Banyak Pasien Gangguan Irama Jantung di Indonesia Masih Usia Produktif

gangguan irama jantung
Ilustrasi. Gangguan irama jantung juga banyak menimpa usia produktif. Foto: Freepik.com

Jakarta (gokepri.com)- Penderita atrial fibrilasi (AF) atau gangguan irama jantung di Indonesia tidak hanya dari kalangan usia lansia saja, tapi juga banyak diderita masyarakat di usia produktif yaitu di usia 40 sampai 65 tahun.

Guru besar bidang aritmia Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi Sp.JP(K) FIHA FAsCC mengatakan di usia produktif ini bisa saja mereka berada di puncak karir dan mereka adalah para kepala keluarga.

Bacaan Lainnya

“Bayangkan kalau manusia-manusia ini mengalami stroke,” kata Yoga dalam dalam pemaparan hubungan jantung aritmia dengan stroke di RS Siloam TB Simatupang Jakarta, Kamis lalu.

Baca Juga: Jangan Remehkan Sering Sempoyongan, Waspada Gangguan Atrial Fibrilasi

Yoga mengatakan, menurut data World Health Organization (WHO) usia 40-60 tahun merupakan rentang usia yang masih muda, jika dibandingkan dengan data global di mana AF banyak diderita pada usia 60 tahun ke atas.

Ia juga mengatakan, atrial fibrilasi merupakan penyakit karena usia sehingga semakin tua risiko terjadinya atrial fibrilasi semakin tinggi dan juga menyebabkan risiko stroke semakin tinggi juga. Sebagai contoh di Amerika, penderita atrial fibrilasi pada usia 60 tahun ke atas sekitar 0,2-2 persen sementara pada usia 80 tahun meningkat 40 persen.

“Bukan hanya dokter dan teman-teman perawat yang kerepotan tapi keluarganya juga kerepotan, beban sosial yang akan terjadi dengan stroke, jadi ini berdasarkan aspeknya AF saja belum menyebab stroke yang lain,” kata Yoga.

Ia juga mengatakan sebesar 46 persen atrial fibrilasi tidak memiliki gejala khas atau asimptomatik, dan baru bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan dokter atau skrining EKG. Sementara sebanyak 60 persen pasien dengan atrial fibrilasi yang tidak bergejala mengalami stroke.

Oleh karena itu, Yoga menyarankan rumah sakit dan tenaga kesehatan menyediakan skrining secara oportunistik atau sistematik agar masyarakat bisa mengetahui risiko adanya atrial fibrilasi.

Namun ia lebih menyarankan untuk melakukan deteksi secara sistematik yakni mencari tahu secara lebih detail yang berfokus pada deteksi atrial fibrilasi dan juga kemungkinan penyakit jantung untuk usia 65 tahun ke atas, seperti yang disarankan Asia Pacific Heart Rhythm Society (APHRS).

“Ayo kita screening jangan sampai kita tidak tahu bahwa kita AF, jangan sampai kita baru tahu AF ketika kita screening terlambat,” ajak Yoga. ANTARA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Pos terkait