Batam (gokepri) – Serikat pekerja yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Batam akan unjuk rasa menolak program wajib iuran Tapera di Kantor Wali Kota Batam, Rabu 12 Juni 2024. Aksi ini bentuk penolakan terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam, Yafet Ramon, memprediksi jumlah massa yang akan turun ke jalan mencapai 1.000 orang. Serikat menolak iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. “Kami akan turun ke jalan dan menyuarakan penolakan Tapera,” tegas Yafet, Senin 10 Juni.
Baca Juga:
- Banjir Kritik, Tapera Jadi Beban untuk Pekerja dan Pengusaha
- Kunjungi DPRD Batam, BTN Bahas Produk Kolaborasi
Yafet menjelaskan perumahan layak merupakan kebutuhan dasar bagi buruh dan pekerja, setara dengan makanan dan pakaian. Bahkan menurutnya, UUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk menyediakan rumah bagi rakyat.
“Tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan rumah yang layak melalui dana APBN dan APBD,” paparnya. Yafet menilai pemotongan upah buruh untuk program Tapera tidak tepat. Hal ini dinilai membebani buruh.

“Alasan kami sangat menolak adanya Tapera ini, karena belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera,” tegasnya.
Menurutnya, iuran Tapera sebesar 3 persen, dengan rincian dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen, tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di-PHK. Mengingat upah rata-rata buruh Indonesia saat ini adalah Rp3,5 juta per bulan, dipotong 3 persen maka iurannya adalah sekitar Rp105 ribu per bulan atau Rp1.260.000 per tahun.
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun kedepan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta hingga Rp25,2 juta? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah,” jelas Yafet.
Dengan iuran 3 persen, Yafet menilai mustahil bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. “Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” tegasnya.
Yafet juga menyoroti penurunan upah riil buruh atau daya beli buruh sebesar 30 persen dalam lima tahun terakhir, akibat upah yang tidak naik selama hampir tiga tahun berturut-turut dan kenaikan upah tahun ini yang terbilang rendah.
“Bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat. Apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha,” ujarnya.
Yafet juga menekankan dalam UUD 1945, tanggung jawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyediakan rumah murah bagi rakyat, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah.
“Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5 persen dan pengusaha membayar 0,5 persen,” tegasnya.
Yafet menegaskan bahwa Tapera membebani buruh dan rakyat. “Program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Ravi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News