Batam (gokepri) – Rencana pengembangan Pulau Rempang punya riwayat panjang. Sejumlah media nasional pernah menayangkan artikel membahas sejarah masuknya investor ke pulau tersebut sejak 2004. Sampai 2008, tidak ada kelanjutan.
Surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004 itu membuka lagi sejarah masuknya investasi ke kawasan Pulau Rempang. Diteken Ketua DPRD Batam saat itu, Taba Iskandar, surat ini menyetujui investasi PT Makmur Elok Graha atau MEG. Isi surat itu adalah rekomendasi enam fraksi di DPRD Batam.
Secara garis besar, DPRD Batam ketika itu menyetujui langkah Pemko Batam mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.
Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemko Batam. Walikota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir. Ismeth Abdullah ketika itu menjabat penjabat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau ikut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Pemko Batam. Kerja sama juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang.
“Sebenarnya mulai diajak bicara pada 2002. Pada 2003, dipanggil lagi, ditawarin untuk menggarapnya. Lalu kami diminta melakukan public expose. Setelah satu tahun selesai studi, kami presentasikan dan 2004 nota kesepahaman diteken,” kata Tommy, dikutip dari artikel Tempo, 6 Juli 2007.
Dia menjelaskan, setelah nota kesepahaman diteken, pihaknya tidak pernah lagi diminta menindaklanjuti kerja sama tersebut. Sejak penandatanganan, kata Tommy, tidak ada pembicaraan lanjutan hingga Batam dijadikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone. “Saya nggak tahu dan udah kelamaan, terserah deh (Batam) mau jadi apa. Dan saya tidak pernah bolak-balik ke sana, ngoyo benar,” ujarnya dalam artikel tersebut.
Cerita awal, Pemerintah Kota Batam awalnya datang ke Jakarta pada tahun 2001 untuk menawarkan prospek pengembangan di Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam.
Lalu, Pemerintah Kota Batam pun berupaya mengundang beberapa pengusaha nasional termasuk Artha Graha Group (induk PT MEG) serta sejumlah investor dari Malaysia dan Singapura untuk berperan aktif dalam pembangunan proyek Kawasan Rempang.
Pada akhirnya, PT MEG terpilih untuk mengelola dan mengembangkan Kawasan Rempang seluas kurang lebih 17 ribu hektare dan kawasan penyangga yaitu Pulau Setokok (kurang lebih 300 hektare) dan Pulau Galang (kurang lebih 300 hektare).
Berdasarkan butir kesepakatan atau perjanjian pada tahun 2004 tersebut, Pemerintah Kota Batam dan BP Batam pun bertugas menyediakan tanah dan menerbitkan semua perizinan yang diperlukan PT MEG.
PT MEG, adalah anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tommy Winata. Dalam perjanjian pemberian hak guna bangunan di Pulau Rempang antara Pemko Batam, Otorita Batam dan Makmur Elok Graha, MEG mendapat konsesi selama 30 tahun, yang bisa diperjang 20 tahun dan 30 tahun sehingga berpotensi selama 80 tahun. Luas lahan yang dikerja samakan seluas 16.583 hektare.
Tempo ketika itu melaporkan, perjanjian itu dinilai merugikan negara. Kerja sama dilakukan tanpa pemberian ganti rugi kepada negara.
Dalam perjanjian itu, MEG mendapat hak-hak ekslusif atas pengelolaan dan pengembangan proyek KWTE. Dalam Perda Kota Batam No 17 tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam dan diperbarui dengan Perda No 3 tahun 2003 dinyatakan izin usaha dalam KWTE meliputi gelanggang bola ketangkasan dan gelanggan permainan mekanik/elektronik.
Pada tahun 2007, rencana investasi tersebut mengalami kendala, karena adanya aduan dari masyarakat yang mengaku telah merugikan negara Rp3,6 triliun dalam kerja sama tersebut.
Pada 2008, Tommy Winata pun sempat diperiksa di Mabes Polri terkait hal tersebut. Proyek tersebut juga tak terwujud karena adanya masalah pembebasan lahan.
19 tahun berlalu. Kerja sama pengembangan Pulau Rempang kembali lahir. Pada Juli 2023, pemerintah meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Xinyi Group, perusahaan asal China. Perjanjian baru ini ditandatangani Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia di Chengdu, China dan disaksikan Presiden Joko Widodo.
Xinyi akan berinvestasi USD11,5 miliar atau setara Rp172 triliun. Xinyi akan membangun pabrik kaca dan solar panel. Investasi disebut akan melahirkan 30.000 lapangan kerja. Proyeknya dijadwalkan dimulai September 2023.
Investasi ini bagian dari pengembangan Pulau Rempang di bawah bendera MEG. Konsepnya kawasan industri hijau dan diberi nama Rempang Eco-City. Pulau Rempang dibangun kawasan industri, jasa dan pariwisata. Proyek ini ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp318 triliun hingga 2080.
Namun rencana ini mendapat penolakan. Warga Rempang menolak direlokasi dan menolak 16 kampung tua digusur. Warga memohon kepada pemerintah agar pembangunan dilakukan tanpa menggusur permukiman warga asli dan 16 kampung tua.
Di Pulau Rempang terdapat 16 kampung adat atau kampung tua yang menjadi permukiman warga asli. Warga asli diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834.
***
Baca Juga:
- Temui Demonstran, Muhammad Rudi Janji Teruskan Aspirasi Warga Rempang
- Bahlil Lahadalia: Warga Terdampak Investasi di Rempang Dapat Rumah hingga Beasiswa
- Xinyi Glass Bangun Pabrik Kaca dan Panel Surya di Batam
- Oleh-Oleh Jokowi dari China, Investasi USD11,5 Miliar Masuk Rempang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News