JAKARTA (gokepri) — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak wacana pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi. Mereka khawatir wacana ini akan melemahkan independensi kampus.
Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friyatna, mengingatkan universitas bukanlah badan hukum yang fokus utamanya mencari keuntungan, melainkan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyiapkan generasi yang cerdas, andal, dan berprestasi.
“Biarlah kampus tetap independen, jangan dirusak. Memasukkan perguruan tinggi sebagai pengelola tambang sama dengan menjerumuskan dan melemahkan kemerdekaan itu sendiri,” kata Mukri, Jumat 24 Januari 2025.
Pernyataan ini merespons wacana pemberian IUP tambang untuk perguruan tinggi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) oleh DPR RI.
“Untuk itu dengan segala hormat, Walhi mendesak kepada semua wakil rakyat di DPR RI untuk segera menggugurkan rencana tersebut,” imbuhnya.
Mukri berpendapat perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat bertanya dan mencari jawaban. Tanpa independensi, kemampuan universitas untuk bersikap netral atau mengeluarkan opini yang jernih dapat terpengaruh.
Ia juga berpendapat universitas tetap mampu tumbuh dan berkembang serta menghasilkan prestasi tanpa campur tangan tambang. “Tambang, apa pun ceritanya, tetaplah menghasilkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Kami tidak rela jika kampus harus dibenturkan dengan rakyat atas dampak negatif tambang, jika mereka diberikan hak mengelola tambang,” kata Mukri.
Anggota DPR RI Muh Haris mengharapkan rencana kebijakan pemberian izin pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan dan perguruan tinggi berdampak positif bagi masyarakat sekitar, lingkungan, dan tujuan lembaga itu sendiri.
“Perguruan tinggi dan ormas keagamaan yang diberi kesempatan mengelola tambang harus memastikan keberadaannya memberikan dampak jelas, baik dari sisi ekonomi, pendidikan, maupun pemberdayaan masyarakat di sekitarnya,” ujar Haris dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Muh Haris lalu menekankan bahwa pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan juga harus diarahkan untuk membangun kemandirian organisasi. Dengan demikian, menurutnya, ormas keagamaan dapat menjadi lebih mandiri secara ekonomi sehingga mampu memperluas layanan sosial dan keagamaan yang mereka jalankan.
“Saya berharap ormas keagamaan tidak hanya memanfaatkan tambang untuk pendanaan operasional, tetapi juga menjadikannya modal dalam membangun program pemberdayaan masyarakat yang lebih luas, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi produktif,” ucapnya.
Sementara itu, Haris mengharapkan perguruan tinggi dapat memanfaatkan peluang pengelolaan tambang untuk mendukung misi pendidikan mereka. Dia berharap keuntungan dari pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi dapat digunakan untuk meringankan beban mahasiswa, seperti menurunkan uang kuliah atau biaya pendidikan.
“Perguruan tinggi harus memanfaatkan hasil dari pengelolaan tambang untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat. Salah satunya dengan menurunkan biaya kuliah. Dengan begitu manfaat ekonomi tambang bisa dirasakan langsung oleh generasi muda,” kata dia.
Lebih lanjut ia menekankan pentingnya tata kelola yang baik dan transparansi dalam pelaksanaan kebijakan izin pengelolaan tambang itu. Perguruan tinggi, menurut Haris, harus tetap menjadikan pengelolaan tambang sebagai bagian dari inovasi dan pembelajaran, tanpa melupakan misi utamanya di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Lalu terkait aspek lingkungan, Muh Haris juga meminta pemerintah memastikan bahwa perubahan UU Minerba tetap berlandaskan pada prinsip keberlanjutan.
Izin Tambang untuk Kampus
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merekomendasikan pemberian IUP eksplorasi kepada perguruan tinggi, yang bertujuan mencari lokasi dan besaran cadangan di wilayah tersebut.
“Catatan dari kami, pemberian IUP yang dilakukan untuk ormas maupun nanti kepada perguruan tinggi adalah untuk IUP eksplorasi,” ujar Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Julian menjelaskan terdapat dua jenis IUP, yaitu IUP eksplorasi dan IUP produksi. IUP eksplorasi bertujuan mencari lokasi, besaran cadangan, serta potensi pasti mineral atau batu bara di wilayah tersebut.
Berdasarkan pengalaman Kementerian ESDM, eksplorasi paling cepat dilakukan dalam jangka waktu tiga tahun dengan biaya minimal Rp 100 juta per hektare. “Karena paling tidak dibutuhkan bor per empat titik. Itu hanya untuk bor saja, belum biaya kimia dan lain-lainnya,” ujar Julian.
Ia memperingatkan mengelola lahan tambang bukanlah hal mudah dan memakan biaya besar. Oleh karena itu, Julian mengatakan calon penerima, baik ormas keagamaan maupun perguruan tinggi, perlu diberi pemahaman dari awal bahwa tambang bukan kegiatan murah.
“Walaupun nanti ditawarkan, jangan sampai tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya dan uangnya malah hilang,” kata Julian.
Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/1/2025), menyetujui RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. RUU Minerba perubahan keempat bersifat kumulatif terbuka karena Undang-Undang Minerba sudah empat kali diuji di Mahkamah Konstitusi, dan dua pengujian dikabulkan bersyarat oleh MK.
Baleg DPR RI berniat memasukkan substansi tentang pemberian prioritas bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mengelola lahan tambang dengan luas di bawah 2.500 hektare, pemberian wilayah izin usaha pertambangan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, hingga pemberian wilayah izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi. ANTARA
Baca Juga:
KORUPSI IZIN TAMBANG DI KEPRI: Uang Rp8 Miliar Dikembalikan ke Negara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News