Batam (gokepri) – Bank Perekonomian Rakyat (BPR) wajib memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp6 miliar paling lambat 31 Desember 2024. Demikian pula dengan BPR Syariah (BPRS) yang diwajibkan memenuhi ketentuan tersebut paling lambat 31 Desember 2025.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK Eddy Manindo Harahap dalam FGD dengan Redaktur Media Massa di Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (8/6). Menurutnya, ketentuan modal minimum ini telah tercantum dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 05/POJK.03/2015, dan BPR/BPRS telah diberikan waktu sembilan tahun untuk memenuhinya. “Kami sudah kasih waktu sembilan tahun sejak 2015,” kata dia.
Baca Juga:
- Pejabat BPR Bestari Ditahan Terkait Dugaan Korupsi dan Pencucian Uang
- Kinerja BPR di Kepri: Kredit Macet Meningkat, Aset Tumbuh Jadi Rp9,9 Triliun
Eddy menjelaskan bahwa penegasan kembali ketentuan modal minimum ini juga tercantum dalam peta jalan BPR/BPRS 2024-2027 yang diluncurkan OJK pada 20 Mei 2024. “Kalau sudah begitu, BPR itu sudah sama seperti bank umum, tapi ya tentu saja untuk itu, BPR nya harus diperkuat dulu,” kata dia.
Penguatan BPR tersebut, menurut Eddy, salah satunya dilakukan melalui pemenuhan modal inti minimum Rp6 miliar. “Modal inti yang kecil menghambat ekspansi dan peningkatan kualitas BPR. Oleh karena itu, OJK mewajibkan BPR untuk mencapai modal inti minimum Rp6 miliar paling lambat akhir 2024, dan BPRS paling lambat akhir 2025,” ujar dia.
Saat ini, kata Eddy, jumlah BPR dan BPRS cukup banyak namun didominasi oleh unit skala kecil dengan kinerja yang belum optimal. BPR juga dihadapkan pada tantangan untuk bersaing dengan Fintech Peer to Peer (P2P) Lending.
“BPR tidak kalah bersaing dengan ‘Fintech P2P’ karena BPR sudah lebih lama ada. Namun, BPR masih memiliki tantangan dalam tata kelola, produk, infrastruktur, dan layanan,” ujarnya.
Untuk diketahui, sebagai bank komunitas, Bank Perekonomian Rakyat-Bank Pembiayaan Rakyat Syariah atau BPR-BPRS sangat dekat dengan rakyat kecil. Aset industri dan penghumpunan dana pihak ketiga terus bertumbuh. Namun, tata kelolanya butuh penguatan.
Hingga Mei tahun ini ada 11 BPR yang dicabut izinnya. Angka membesar jika ditarik ke belakang. Dalam tiga tahun terakhir ada sekitar 60 BPR/BPRS yang telah dicabut izinnya.
Namun, secara umum aset industri terus bertumbuh. Per Maret 2024, total aset industri tumbuh 7,34 persen secara tahunan menjadi Rp 216,73 triliun. Total aset itu dikumpulkan dari 1.566 BPR/BPRS dengan rincian 1.392 BPR dan 174 BPRS.
Selain itu, penyaluran kredit juga tumbuh 9,42 persen secara tahunan menjadi Rp 161,9 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga tumbuh 8,6 persen secara tahunan menjadi Rp 158,8 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan pun meluncurkan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri BPR-BPRS pada 2024-2027 untuk menguatkan kinerja industri ini.
Terdapat empat pilar utama yang menjadi arah pengembangan dan penguatan industri BPR dan BPRS, yakni penguatan struktur; digitalisasi; pembiayaan sektor usaha kecil, mikro, dan menengah; serta pengawasan.
Peluncuran peta jalan tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). UU P2SK ini membuka peluang ekspansi BPR dan BPRS, seperti akses permodalan melalui penawaran efek di pasar modal dan masuk dalam sistem pembayaran.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, esensi pokok dari Roadmap Pengembangan dan Penguatan BPR-BPRS (RP2B) adalah penguatan permodalan, konsolidasi, dan memperbaiki tata kelola. Selain itu, kesehatan industri juga patut diperhatikan.
RP2B juga menjadi landasan kebijakan untuk memperkuat dan mengembangkan industri, sekaligus menjawab tantangan industri ke depan. Hal ini bertujuan untuk menjadikan BPR dan BPRS sebagai bank yang berintegritas, tangguh, dan berkontribusi terhadap perekonomian, khususnya usaha kecil serta masyarakat di wilayahnya.
Oleh sebab itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menekankan, OJK akan berfokus pada tiga aspek, yakni penguatan permodalan, akselerasi konsolidasi, dan penguatan tata kelola. Sebab, kuatnya permodalan salah satunya akan meningkatkan kapasitas penyaluran kredit.
Penguatan permodalan tersebut diatur melalui kewajiban pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar, sedangkan pendirian BPR baru persyaratan modal disetor minimal 25 miliar. Kewajiban pemenuhan modal inti minimum ini paling lambat pada akhir 2024 bagi BPR dan 31 Desember 2025 bagi BPRS.
Penulis: Candra Gunawan/ANTARA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News