JAKARTA (gokepri) — Tren berburu pakaian bekas impor (thrifting) belakangan disorot pemerintah. Bukan hanya masalah mode, impor ilegal pakaian bekas kini disebut-sebut sebagai biang keladi kerugian industri tekstil domestik hingga mencapai Rp1 triliun per tahun.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkap, sebagian besar bal-bal pakaian bekas ilegal yang mereka sita diduga berasal dari Jepang, China, dan Korea Selatan. Barang selundupan ini masuk melalui jalur tidak resmi dan langsung didistribusikan ke pasar lokal tanpa izin impor.
Selama setahun masa pemerintahan Prabowo—Gibran, Kemendag telah menindak 21.054 bal pakaian bekas ilegal. Nilai barang sitaan tersebut diperkirakan mencapai Rp120,65 miliar.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang, menegaskan penindakan ini dilakukan untuk melindungi industri tekstil dalam negeri, serta menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat. Larangan impor pakaian bekas sendiri sudah diberlakukan pemerintah sejak 2015.
Penanggungjawab barang selundupan itu, yang bukan merupakan importir resmi, dikenai sanksi berupa penutupan lokasi usaha. Barang sitaan juga diperintahkan untuk dimusnahkan atas biaya penanggungjawab dan disaksikan oleh petugas pengawas.
“Barang impor ilegal yang beredar di pasaran dapat merontokkan pelaku usaha dalam negeri, khususnya UMKM yang memproduksi barang serupa,” kata Moga.
Untuk menekan arus masuk barang ini, Kemendag akan memperkuat pengawasan lintas instansi bersama aparat penegak hukum, didukung oleh desk penyelundupan nasional yang dikoordinasikan Kemenko Polhukam.
Di sisi lain, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menghitung potensi kerugian negara akibat impor baju bekas ilegal ini berada di kisaran konservatif Rp600 miliar hingga Rp1 triliun per tahun.
Sekretaris Jenderal API, Andrew Purnama, menjelaskan estimasi tersebut mengacu pada data penindakan Bea Cukai. Data menunjukkan, 21.000 bal pakaian bekas yang disita hanya di kisaran 10–20 persen dari total arus masuk.
Dampak peredaran baju bekas ilegal ini menjalar dari hilir hingga hulu industri. Garmen lokal kehilangan pesanan, pabrik kain menurunkan kapasitas, pemintal dan penenun mengurangi jam kerja, hingga permintaan industri serat dan benang ikut merosot.
Andrew mencatat, industri tekstil dan garmen menyerap lebih dari 3,9 juta pekerja. “Ketika utilitas pabrik turun, yang terdampak bukan hanya pabrik, tetapi pendapatan rumah tangga para pekerja. Ini adalah masalah sosial,” ujarnya.
API juga menyoroti pergeseran budaya thrifting di Indonesia. Di banyak negara, thrifting adalah kegiatan sosial untuk masyarakat yang kurang mampu atau berbasis amal. Namun, di Indonesia, kegiatan ini justru berubah menjadi tren gaya hidup bagi konsumen yang sebenarnya memiliki daya beli.
Kondisi ini membuat produk lokal semakin tersisih, padahal banyak pakaian yang diproduksi oleh Industri Kecil Menengah (IKM) lokal masih sangat terjangkau, di kisaran Rp50.000 hingga Rp200.000.
“Membeli produk lokal berarti menghidupkan pekerja lokal. Pola pikir ini yang perlu diubah,” tegas Andrew.
API mendesak pemerintah untuk memperbaiki empat hal utama guna mencegah impor baju bekas ilegal. Pertama di hulu (Perbatasan) adalah memperkuat pengawasan dan memutus jalur importir besar, bukan hanya razia di pasar.
Kedua soal regulasi yakni memastikan implementasi aturan impor berjalan stabil dan konsisten. Ketiga tentang dampak sosial, pedagang thrift kecil harus dibina, bukan dipidanakan. Keempat edukasi publik yakni mengembalikan makna thrifting sebagai kegiatan sosial, bukan gaya hidup bagi yang mampu. BISNIS.COM
Baca Juga: Penjara 5 Tahun untuk Importir Pakaian Bekas dan 2 Tahun untuk Penjual
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News





