BATAM (gokepri) — Gejolak politik dan sosial dalam beberapa pekan terakhir sempat membuat pasar keuangan nasional limbung. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG terkoreksi lebih dari dua persen pada 29 Agustus 2025, sementara rupiah melemah mendekati Rp16.500 per dolar AS.
Namun otoritas menilai guncangan itu belum mengarah ke krisis. Bank Indonesia turun langsung ke pasar valuta asing dan obligasi untuk meredam gejolak, sementara pemerintah menegaskan fondasi ekonomi nasional masih cukup kokoh menahan tekanan jangka pendek.
Aurelia Nesia Putri Admaja, Administrator Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Kepulauan Riau, mengatakan pelemahan pasar lebih dipicu sentimen sesaat ketimbang masalah mendasar ekonomi. “Tekanan ini datang dari faktor non-ekonomi. Kinerja fundamental kita masih relatif kuat,” ujarnya, Selasa 30 Desember 2025.
Ia menunjuk data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang mencapai 5,12 persen—tertinggi dalam dua tahun terakhir—sebagai penopang optimisme tersebut. Menurut Aurelia, situasi saat ini jauh berbeda dengan krisis moneter 1998.
Pada krisis 1998, rupiah anjlok dari sekitar Rp2.600 menjadi lebih dari Rp14.800 per dolar AS. Inflasi melonjak di atas 60 persen dan ekonomi terperosok hingga minus 13 persen. “Itu krisis sistemik. Sekarang, tekanannya lebih sempit dan bisa dikendalikan,” kata Aurelia.
Ia menilai reformasi pascakrisis telah memperkuat daya tahan ekonomi. Cadangan devisa Indonesia kini berada di kisaran 150 miliar dolar AS. Perbankan juga relatif sehat dengan rasio kecukupan modal sekitar 26 persen dan kredit bermasalah yang terjaga rendah.

Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan turut memperkuat kepercayaan pasar. Di sisi lain, kebijakan nilai tukar mengambang yang disertai intervensi terukur membuat gejolak tidak mudah menjalar menjadi krisis yang lebih luas.
Aurelia mengingatkan investor agar tidak terburu-buru bereaksi terhadap volatilitas jangka pendek. Sejarah menunjukkan pasar kerap pulih setelah fase koreksi. “IHSG pernah jatuh sangat dalam pada 1998, tetapi bangkit tajam setahun kemudian. Pola serupa juga terlihat pascakrisis global 2008,” ujarnya.
Menurutnya, bagi investor jangka panjang, koreksi justru bisa membuka peluang. Dengan inflasi yang masih terkendali, defisit anggaran di bawah tiga persen PDB, serta arus investasi asing yang tetap mengalir, pasar modal Indonesia dinilai masih memiliki ruang bertahan.
“Indonesia hari ini tidak lagi serapuh dulu. Fondasi ekonomi lebih kuat dan koordinasi kebijakan lebih solid,” kata Aurelia. “Pengalaman pahit masa lalu justru membuat kita lebih siap menghadapi gejolak hari ini.”
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Kuartal IV di Bawah Perkiraan, 2020 Terburuk Sejak Krisis 1998
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News








