Batam Menuju Kota Tanpa Elpiji Subsidi

Jargas di batam
PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menyelesaikan pemasangan sambungan jaringan gas rumah tangga (jargas) di Perumahan Rosinton, Kecamatan Batu Aji, Batam, Selasa (20/5). PGN menargetkan pemasangan 10 sambungan per hari di wilayah tersebut, sebagai bagian dari target 9.000 sambungan jargas di Batam hingga November 2025. GOKEPRI/Engesti Fedro

Bagi jutaan keluarga Indonesia, tabung gas melon berwarna hijau seberat tiga kilogram adalah benda yang tak tergantikan di dapur. Dari rumah sederhana di perkampungan hingga warung nasi di pinggir jalan, tabung kecil ini menyalakan api yang memasak jutaan hidangan setiap hari. Namun di balik itu, tersimpan beban besar bagi negara.

BATAM, Muhammad Ravi

Kementerian Keuangan mencatat, realisasi belanja subsidi energi pada 2024 mencapai Rp177,62 triliun, naik 8,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, Rp80,21 triliun dialokasikan untuk subsidi LPG 3 kilogram—menjadi komponen terbesar, 45,2 persen dari total belanja subsidi energi. Angka itu terus meningkat seiring konsumsi dan kebocoran distribusi yang tak tertangani.

Ironisnya, sekitar 30 persen pengguna LPG 3 kilogram bukan masyarakat miskin, menurut laporan BPH Migas. Rumah tangga menengah dan pelaku usaha ikut menikmati harga murah gas melon. Akibatnya, muncul kelangkaan, antrean panjang di pangkalan, hingga penyelundupan ke sektor non-rumah tangga.

Di tengah persoalan itu, pemerintah mulai menimbang langkah strategis: mengalihkan konsumsi LPG bersubsidi ke jaringan gas rumah tangga (jargas).

Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) atau PGN, Arief S. Handoko, mengatakan rendahnya minat jargas selama ini disebabkan harga LPG 3 kilogram yang jauh lebih murah. “Kami akan coba clustering dan membatasi LPG 3 kilogram di Batam. Dengan pembatasan ini, minat terhadap jargas diharapkan meningkat,” ujar Arief, Rabu (12/3/2025).

Berbeda dari LPG, gas bumi disalurkan langsung ke rumah melalui jaringan pipa bawah tanah, tanpa perlu tabung atau distribusi manual. Sistem ini dinilai lebih efisien, aman, dan ramah lingkungan. Dari sekian banyak kota di Indonesia, Batam dipilih sebagai proyek percontohan nasional.

Pilihan itu bukan kebetulan. Batam berstatus kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB), dengan infrastruktur energi relatif matang serta pengawasan distribusi yang mudah karena wilayahnya berupa pulau. “Batam ini pulau, jadi keluar-masuk LPG lebih mudah dikontrol. Kondisi ini cocok untuk menjadi pilot project penghapusan LPG 3 kilogram,” kata Head Area PGN Batam, Wendi Purwanto.

Menyiapkan Infrastruktur Jaringan Gas Rumah Tangga

Cara pasang gas PGN batam
Area Head PGN Batam Wendi Purwanto saat meninjau lokasi gas in jargas di Perumahan Rosinton Raya, Batu Aji, Batam, 20 Mei 2025. Foto: PGN

Hingga akhir 2024, PGN telah membangun sekitar 15.000 sambungan rumah tangga (SR) jargas di kawasan padat seperti Batu Aji, Sagulung, dan Batam Kota—baru sekitar 5 persen dari total 350 ribu rumah tangga di Batam. Pemerintah menargetkan seluruh wilayah inti terkoneksi gas bumi pada 2030.

Total jaringan pipa gas di Batam telah mencapai 220 kilometer, terdiri dari pipa baja dan polietilena. Tahun ini, PGN menargetkan tambahan 28 kilometer jaringan baru.

Penerapan dilakukan bertahap lewat klasterisasi wilayah. Setelah satu kawasan tersambung penuh ke jargas, distribusi LPG 3 kilogram akan mulai dibatasi. Gas disalurkan dari terminal penerima milik PGN ke rumah tangga, dilengkapi meteran digital dan sistem pembayaran prabayar melalui aplikasi atau kartu pintar.

Dari sisi harga, jargas disebut lebih stabil dan efisien. Rata-rata konsumsi rumah tangga di Batam 4–6 meter kubik per bulan, dengan biaya Rp40.000–Rp60.000. “Biayanya hampir sama dengan LPG 3 kilogram, tapi tanpa antrean atau kelangkaan. Gas bumi juga jauh lebih murah dibanding LPG non-subsidi,” kata Wendi.

Selain efisiensi, keamanan menjadi keunggulan utama. Gas bumi lebih ringan dari udara dan mudah terdeteksi bila bocor. “Kalau ada kebocoran, gas akan menguap ke udara sehingga risiko bahaya lebih kecil,” ujar Wendi.

Dari sisi lingkungan, jargas menghasilkan emisi karbon lebih rendah dibanding LPG. Jika diterapkan penuh, Batam diperkirakan dapat mengurangi emisi hingga 15 ribu ton CO₂ per tahun.

Meski prospektif, program ini tak lepas dari tantangan. Pertama, biaya investasi besar. Pembangunan jaringan pipa dan sambungan rumah tangga menelan Rp8–10 juta per rumah, belum termasuk instalasi dalam rumah.

Kedua, resistensi sosial. Banyak warga masih nyaman dengan LPG. Kekhawatiran muncul: “Kalau gas mati bagaimana? Kalau bocor siapa yang tanggung jawab?” ujar Wendi menirukan pertanyaan warga.

Ketiga, tantangan geografis. Batam bukan satu pulau tunggal. Pulau-pulau kecil seperti Belakangpadang, Bulang, dan Galang sulit dijangkau jaringan pipa.
“Yang pasti prioritas di pulau utama dulu. Daerah luar masih jadi kendala,” kata Wendi.

Keempat, koordinasi lintas lembaga. Proyek ini melibatkan Pertamina, PGN, Pemko Batam, BPH Migas, dan Kementerian ESDM. Sinkronisasi kebijakan dan pendanaan menjadi pekerjaan besar yang memerlukan komitmen bersama.

Jika berjalan sesuai rencana, Batam akan menjadi model kota dengan sistem energi efisien dan bersih di Indonesia. Selain menghemat anggaran subsidi hingga miliaran rupiah per tahun, proyek ini juga memperkuat komitmen Indonesia menuju net zero emission 2060.

Data Pertamina menunjukkan, setiap kilogram LPG yang digantikan gas bumi menghemat sekitar 1,5 kilogram emisi CO₂. Bila seluruh Batam beralih, pengurangan emisi bisa mencapai puluhan ribu ton per tahun.

Transformasi energi memang tak bisa terjadi semalam. Tapi setiap perubahan besar dimulai dari satu langkah kecil. Batam kini menapaki langkah itu—menuju kota pertama tanpa LPG subsidi. Langkah sederhana, dengan misi besar: membangun ekosistem energi yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Baca Juga: 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Pos terkait