Saatnya Indonesia Rebut Peluang di Tengah Konflik Raksasa

Tarif impor amerika serikat
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengunjungi Malaysia untuk berkoordinasi merespons kebijakan tarif resiprokal AS, Malaysia, Jumat (4/4/2025). Foto: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

JAKARTA (gokepri) – Memanasnya rivalitas geopolitik antara Amerika Serikat dan China bukan sekadar persaingan dua negara adidaya, melainkan sebuah guncangan yang berpotensi mengubah tatanan perdagangan global. Di tengah kekhawatiran akan dampaknya terhadap Indonesia, justru muncul pandangan bahwa situasi ini adalah peluang emas untuk memposisikan diri secara strategis dalam lanskap ekonomi dunia yang tengah berubah.

Ketika Presiden AS Trump mengancam menghentikan seluruh negosiasi dengan China, dan Beijing merespons dengan langkah-langkah balasan seperti pelonggaran nilai tukar Renminbi (RMB), yang sebenarnya sedang terjadi adalah ujian ulang mengenai siapa yang memegang kendali sesungguhnya dalam arsitektur ekonomi dunia.

Kekhawatiran akan dampak buruk bagi Indonesia tentu wajar. Namun, mungkin inilah saat yang tepat untuk berhenti melihat diri sebagai korban dari gejolak global, dan mulai membaca realitas ini sebagai peluang untuk menetapkan posisi strategis baru di tengah pusaran yang sedang terjadi.

Bank Pembangunan Asia (ADB) bahkan menilai bahwa kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak akan berdampak signifikan secara kualitatif terhadap perekonomian Indonesia. Ekonom Bidang Asia Tenggara ADB, Nguyen Ba Hung, menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang relatif kecil.

Oleh karena itu, Indonesia tidak perlu panik berlebihan. Bangsa ini dapat belajar dari Kamboja dan Vietnam. Meskipun kedua negara ini dikenal memiliki kedekatan politik dengan China, reaksi mereka terhadap tekanan tarif Amerika Serikat menunjukkan satu hal penting: dalam dunia perdagangan global, loyalitas tidak ditentukan oleh sejarah diplomatik, melainkan oleh perhitungan keuntungan ekonomi.

Ketika tarif AS terhadap China meningkat, Kamboja dan Vietnam justru memangkas tarif untuk produk Amerika. Tindakan ini bukanlah pengkhianatan, melainkan pilihan rasional yang mengindikasikan bahwa negara-negara yang berorientasi ekspor akan selalu memprioritaskan pembeli, bukan penjual. Pembeli menyediakan sumber devisa, fondasi pertumbuhan ekonomi, dan alasan keberlangsungan industri domestik. Bagi negara yang berorientasi ekspor, kehilangan pembeli berarti kehilangan mata pencaharian, sementara kehilangan penjual memang akan meningkatkan biaya rantai pasokan, namun bukan sesuatu yang tidak dapat digantikan.

Meskipun produk China memiliki nilai ekonomis yang tinggi, secara global ia bukanlah satu-satunya pilihan. Kamboja sepenuhnya dapat mengimpor produk serupa dari Vietnam, India, atau bahkan negara-negara Eropa Timur. Meskipun harganya mungkin sedikit lebih mahal, operasional bisnis tetap dapat berjalan normal. Namun, kehilangan pasar Amerika berarti kehilangan sumber pendapatan devisa dan fondasi utama bagi pesanan ekspor, sementara kelebihan kapasitas produksi China sudah menjadi konsensus global; China tidak membutuhkan dan juga tidak mungkin membeli produk Kamboja dalam jumlah besar.

Jadi, dari sudut pandang strategi nasional dan kepentingan ekonomi yang nyata, meskipun secara politik lebih dekat dengan China, dalam menghadapi tarif dan kelangsungan hidup ekspor, Kamboja dan Vietnam tanpa ragu memilih Amerika. Ini adalah respons rasional terhadap tekanan nyata berdasarkan kepentingan nasional.

Posisi Indonesia

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Posisi perdagangan Indonesia dengan China dan Amerika cukup jelas. Setiap tahun, Indonesia mengimpor sejumlah besar produk dari China, yang mengakibatkan defisit perdagangan pada tingkat tertentu. Sementara itu, ekspor Indonesia ke Amerika justru terus mempertahankan surplus perdagangan. Artinya, kehilangan akses ke pasar AS akan berdampak langsung pada keseimbangan neraca pembayaran dan stabilitas industri ekspor. Sebaliknya, gangguan pasokan dari China memang menyulitkan, tetapi dapat disubstitusi dengan impor dari negara lain. Tidak mudah memang, tetapi tetap mungkin.

Logika sederhana ini sebenarnya mengarah pada satu kesimpulan: dalam jangka panjang, pembeli memiliki kekuatan negosiasi yang lebih besar dibandingkan penjual, terutama jika barang yang dijual adalah barang dengan tingkat substitusi tinggi, seperti tekstil, elektronik murah, atau produk konsumen cepat pakai. China adalah “pabrik dunia,” tetapi bukan satu-satunya pemasok. Dan justru karena kelebihan kapasitas produksinya, ia tidak mampu menjadi pembeli utama bagi negara-negara seperti Indonesia.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan menilai bahwa tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia tidak sepenuhnya negatif. DEN melihat resiprokal tarif dari Amerika ini justru sebagai peluang untuk repositioning perdagangan global, yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.

Itulah mengapa gejolak ini seharusnya dilihat sebagai peluang. Ketika dunia merombak ulang rantai pasok global dan investor mencari lokasi baru yang lebih stabil, Indonesia justru memiliki sejumlah keunggulan yang tidak dapat diabaikan: atribut netral secara geopolitik, biaya tenaga kerja yang kompetitif, dan peran aktif dalam berbagai kerja sama regional menjadikan Indonesia bukan hanya pelengkap, tetapi kandidat utama sebagai simpul baru dalam jaringan industri dunia.

Kapital, pada akhirnya, selalu mencari tempat untuk bertumbuh. Dan ketika ruang pertumbuhan menyempit di Tiongkok akibat tekanan eksternal dan stagnasi domestik, modal akan mencari pelabuhan baru, dan Indonesia cenderung memiliki segalanya untuk menjadi tempat berlabuh tersebut.

Tanda-tanda bahwa modal global mulai menoleh ke arah Indonesia sudah terlihat jelas. Di saat pasar saham Jepang dan Hong Kong mengalami koreksi lebih dari 20 persen dalam waktu singkat, dan Korea Selatan mengalami penurunan tajam, pasar di Indonesia justru menunjukkan ketahanan yang mencolok. Penurunan tetap terjadi, tetapi tidak sedalam negara-negara besar lainnya. Ini bukan kebetulan, melainkan refleksi dari keyakinan kapital bahwa Asia Tenggara, dan Indonesia secara spesifik, adalah kawasan kunci berikutnya yang memiliki nilai investasi sistemik. Dalam konteks ini, penurunan pasar justru menjadi pintu masuk bagi modal untuk masuk lebih dalam, menanamkan fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang.

Tiga Sektor Utama

Pertanyaannya, ke mana arah investasi yang seharusnya dituju? Banyak analisis telah menyatakan bahwa tiga sektor utama saat ini muncul sebagai bintang dalam lanskap baru ini: infrastruktur, keuangan, dan energi-sumber daya mineral. Infrastruktur adalah tulang punggung pertumbuhan domestik, didukung oleh kebijakan jangka panjang dan aliran kas yang stabil. Sektor keuangan, terutama bank-bank besar, akan menjadi pintu masuk utama bagi modal luar. Ketika arus modal masuk, bank adalah pihak pertama yang menerima dana, mengelolanya, dan menyalurkannya. Sementara itu, sektor energi dan sumber daya, yang posisinya tidak tergantikan dalam rantai pasok global, akan menjadi sektor paling strategis, seiring dengan meningkatnya permintaan dari dua kekuatan ekonomi besar yang kini saling menjauh, China dan Amerika. Fakta bahwa Indonesia adalah eksportir besar energi dan sumber daya mineral semakin memperkuat posisi negara ini. Saat permintaan meningkat karena masing-masing kekuatan berupaya memperkuat pertumbuhan domestiknya, Indonesia akan berada di simpul strategis distribusi.

Bahkan, ketika sektor energi terlihat fluktuatif di pasar keuangan, realitas industrinya tetap kokoh. Dan bukti paling kasat mata adalah bagaimana sektor baja di Amerika justru melonjak saat indeks pasar lainnya melemah, indikasi bahwa kebutuhan riil tetap ada dan akan terus meningkat.

Jadi, daripada terjebak dalam ketakutan akan dampak konflik China-Amerika, semua pihak seharusnya melihat lebih jernih. Ini bukan bencana, melainkan awal dari babak baru. Dunia sedang bergeser, dan dalam setiap pergeseran besar selalu ada ruang bagi negara yang siap dan mampu membaca arah serta mengambil posisi lebih dulu. Di tengah badai global, keberanian untuk berpikir tenang, membaca logika ekonomi dengan jernih, dan bertindak rasional adalah senjata paling ampuh. Karena pemenang sejati bukanlah mereka yang menunggu semuanya menjadi pasti, melainkan mereka yang mampu mengambil risiko berdasarkan pemahaman yang tajam dan keyakinan akan potensi masa depan. ANTARA

Baca Juga: BP Batam Siapkan Jurus Hadapi Dampak Tarif Impor AS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Pos terkait