JAKARTA (gokepri) – Dua mahasiswa Batam menggugat legalitas Undang-Undang TNI ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menuntut pembayaran ganti rugi miliaran rupiah dari Presiden hingga DPR atas pengesahan UU tersebut.
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai permohonan uji formal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang meminta Presiden, Badan Legislasi (Baleg), dan DPR membayar ganti rugi miliaran rupiah kepada negara sebagai hal yang tidak lazim. Hakim MK, Enny Nurbaningsih, menyatakan permohonan tersebut tidak sesuai dengan hukum acara dan bukan kewenangan MK.
“Ini ada yang meminta Mahkamah untuk menghukum Presiden, kemudian menghukum Baleg, dan seterusnya. Itu tidak lazim yang seperti itu dan tidak sesuai dengan hukum acaranya di MK, bukan kewenangan MK yang seperti itu,” ucap Enny di akhir sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 58/PUU-XXIII/2025 di Jakarta, Jumat (10/5/2025).
Enny meminta pemohon untuk memahami kembali Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, khususnya Pasal 10 tentang tata cara perumusan permohonan. “Ini Anda ke mana-mana ini, yang tidak kewenangan Mahkamah, tidak mungkin kemudian Mahkamah memaksa Presiden untuk meminta seperti yang Saudara minta ini. Apalagi sampai sedemikian detail yang Saudara sampaikan di sini, itu tidak merupakan sesuatu yang lazim, ya, untuk dilakukan oleh Mahkamah,” tambahnya.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga menekankan pentingnya pemohon memedomani hukum acara pengujian undang-undang di MK. Permohonan berpotensi tidak dapat diterima jika tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara. “Anda bisa bayangkan kalau permohonan Anda tidak memenuhi kayak begitu-begitu, ya, tentunya bisa tidak dapat diterima, bisa karena kabur atau karena apa saja bisa nanti, ya, tidak dilanjutkan ke sidang pembuktian,” ujarnya.
Perkara ini diajukan oleh mahasiswa Universitas Putera Batam, Hidayatuddin, dan mahasiswa Politeknik Negeri Batam, Respati Hadinata. Mereka meminta MK menghukum pembayaran uang paksa (dwangsom) kepada Presiden, pimpinan dan anggota Baleg, serta pimpinan dan anggota DPR yang terlibat dalam pengesahan UU TNI.
Pemohon meminta Presiden membayar uang paksa Rp 12,5 miliar per hari, Baleg Rp 2,5 miliar per hari, dan DPR Rp 25 miliar per hari jika lalai menjalankan putusan MK. Mereka juga mengajukan petitum alternatif berupa ganti rugi Rp 25 miliar untuk Presiden, Rp 5 miliar untuk Baleg, dan Rp 50 miliar untuk DPR, karena dinilai lalai dalam pembentukan UU TNI.
MK memberikan waktu dua pekan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan harus diserahkan ke Kepaniteraan MK paling lambat Kamis (22/5). ANTARA
Baca Juga: Revisi UU TNI Dikritik Mahasiswa Kepri, Endipat Wijaya Janji Kawal Aspirasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News